With Padre, circa 1986 |
Papua, 3.30 WIT, 1986.
Sarapan
pagi sudah menungguku di meja makan. Baru saja duduk di kursi, sesosok mungil berpiyama,
memeluk boneka beruang, menghampiriku.
"Selamat pagi.. sudah bangun kau, Inang1? Mau kawani Bapak sarapan, ya?"
Mengangguk
pelan, ia pun mengulurkan tangannya padaku. Aku meraihnya, kemudian menaruhnya
dalam pangkuanku. Istriku pun membawakannya botol susu. Aku menyesap minuman
hangat dengan ditemani putri kecilku. Ini ritual kami setiap pagi. Duduk
bersama menikmati minuman kami dengan cara masing-masing dalam keheningan pagi.
Uap panas yang mengepul keluar dari gelas minuman, membawaku ke masa dua tahun
yang lalu.
Masih
jelas dalam ingatanku, percakapan dengan istriku.
“Pak, aku hamil. Kata dokter sudah 3
bulan.”
Kabar
itu menyambarku bak kilat di siang bolong. Perlu beberapa saat bagiku untuk
mencerna kata-kata istriku barusan.
“Hah?! Kok bisa?! Bukannya habis
melahirkan si Ronggur dulu, kau langsung disteril? ujarku, tak percaya.
“Matilah aku kalau begitu..”
“Lah, kenapa kau yang mati? Kan aku
yang hamil?” balas istriku.
Hening.
***
Papua, akhir Mei 1981.
“Bu, ini surat pengantar untuk
proses persalinan putra kedua Ibu. Supaya begitu tiba disana nanti, mereka
langsung mempersiapkan tindakan caesar,”
seorang dokter menyampaikan sambil menyerahkan sepucuk amplop putih padaku.
“Terima kasih, Dok.”
“Oh iya, Bu. Setelah tindakan caesar, nanti Ibu akan langsung disteril. Terlalu berisiko jika Ibu
hamil untuk ketiga kalinya. Apalagi karena sebelumnya Ibu sudah pernah
menjalani tindakan caesar. Kami sudah
menuliskan rekomendasinya disitu,” dokter menambahkan.
Tenggorokanku
seperti tersumbat. Pupuslah sudah kesempatanku untuk memiliki seorang putri… Beberapa
waktu yang lalu ketika kontrol, dokter menyatakan bahwa bayi yang kukandung
berjenis kelamin laki-laki. Sama dengan kakaknya, yang kini berusia 2 tahun.
Ukuran
pencapaian hidup orang Batak dinilai dari 3 H: Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon.
Hamoraon berasal dari kata “mamora” yang artinya kekayaan, baik
finansial maupun material. Sementara hagabeon
berasal dari kata “gabe” yang artinya
menjadi atau sempurna; komplit. Dalam hal ini memiliki keturunan baoa (laki-laki) dan boru (perempuan). Adapun hasangapon berasal dari kata “sangap” yang artinya mampu. Dalam hal
ini, menjadi pribadi yang terpandang di masyarakat.
Aku
tidak menjadikan 3 H itu sebagai ukuran kebahagiaan hidupku. Tapi aku tidak
bisa mengingkari perasaanku, ada sesuatu yang kurang. Jauh di dalam lubuk
hatiku, aku merindukan suara tawa riang seorang bocah perempuan meramaikan
rumahku. Tanpanya, hidupku belum sempurna, belum gabe…
I can make believe
I have everything
But I can't pretend that I don't see
That without you girl my life is incomplete
But I can't pretend that I don't see
That without you girl my life is incomplete
(Sisqo –
Incomplete)
***
Cairns, Juni 1981.
16
Juni 1981, aku melahirkan bayi keduaku. Bayi laki-laki, di rumah sakit Katolik Calvary Private Hospital di Cairns, Australia. Aku pun mengetahui
suatu fakta mengejutkan. Pasca bersalin, ternyata dokter tidak langsung
melakukan prosedur sterilisasi padaku sebagaimana rujukan dari Papua. Rumah
sakit menolak melakukannya, karena bertentangan dengan prinsip mereka yang
pro-natalis.
“We’ve
got the memo, but we dismiss the sterilization request. It’s against our value.”
Dokter Brian, yang membantu persalinanku menjelaskan.
“You
could do that later at any other hospital.”
Ada
secercah harapan baru bagiku. Untuk memiliki seorang putri. Tuhan masih
memberiku kesempatan, begitu pikirku. Sekembalinya ke Papua, aku menyimpan
rapat-rapat soal ini. Seiring berjalannya waktu, aku pun lupa mengenai hal itu.
***
Papua, pertengahan tahun 1983.
Aku
tersadar sudah dua bulan aku tidak datang bulan. Aku pun memeriksakan diri ke
rumah sakit.
“Berdasarkan obeservasi saya, Ibu positif
hamil.”
“Betul, Dok?” balasku, kaget bercampur tidak percaya.
“Betul, janinnya sehat, usianya sudah masuk bulan ke-3,”
dokter menyampaikan.
“Terima kasih, Tuhan..” aku berkata lirih.
Meninggalkan
rumah sakit, aku dilanda kebingungan. Bagaimana menyampaikan kabar ini pada
suamiku? Buatku ini suatu kabar gembira. Tapi apakah berlaku juga dengannya?
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya saat mendengar kabar ini.
Berhasil
mengumpulkan keberanian, malamnya usai membereskan perabotan makan malam, aku menghampiri
suamiku. Menyampaikan kabar gembira itu. Setidaknya buatku.
“Pak, aku hamil. Kata dokter sudah 3 bulan.”
***
Jakarta, awal Januari 1984.
Aku
berangkat ke Jakarta, untuk mempersiapkan kelahiran bayiku. Setibanya di
Jakarta, aku langsung kontrol ke dokter di rumah sakit Saint Carolus. Sudah bulan
ke-8, aku masih belum mengetahui jenis kelamin bayi yang kukandung. Namun aku
begitu optimis bayi ini perempuan. Karena aku percaya, bayi ini jawaban Tuhan
atas doaku. Hingga…
“Bu, sepertinya bayinya Ucok2 lagi nih,” dokter
berkata.
“Detak jantungnya kayak3 pemain bola,
bag-big-bug, kencang banget4.
Bayi laki-laki yang sehat.” Dokter melanjutkan.
Mendengar
itu, aku merasa kecewa. Aku sangat berharap bayi yang kukandung ini perempuan..
6 Februari 1984, 18.00 WIB.
Rasa
mulas tak tertahankan menyergapku. Tanda bayiku sebentar lagi akan lahir. Dengan
menggunakan taksi dari Hotel Pardede tempatku menginap, aku segera menuju rumah
sakit. Setibanya disana, aku diminta menunggu untuk proses persalinan normal.
Padahal sesuai surat pengantar yang lalu seharusnya aku langsung di-caesar.
Pukul
21.00 aku mengalami pendarahan hebat, sehingga harus ditransfusi. Pukul 22.00
dokter melakukan tindakan caesar.
Keesokan
paginya, saat visit ke ruang bersalin,
dokter terkejut. Ia mendapati tubuhku mengalami pembengkakan. Kuku-kuku jariku
sampai terlihat seperti mau lepas dari tempatnya. Kulitku berubah warna menjadi
kuning. Ternyata tubuhku bereaksi terhadap darah yang ditransfusikan semalam. Liverku
kalah berperang. Membuat kadar bilirubin dalam darahku begitu tinggi. Aku
terkena Hepatitis A. Dokter menginstruksikan agar aku dipindah ke bagian
internis untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
“Bayi saya bagaimana, Dok?” aku
bertanya.
“Bayi Ibu sehat. Bayi perempuan yang
sehat.” Dokter menjawab.
“Gak salah tuh, Dok? Kapan hari
katanya bayi saya laki-laki..”
“Itu kan masih prediksi, Bu..”
Rasa
bahagia meluap, membanjiri relung hatiku. Tuhan menjawab doaku! Tak sabar
rasanya ingin bertemu langsung dengannya, putriku. Namun apa daya, sisa-sisa
anastesi total semalam sukses membuatku kembali lelap.
7 Februari 1984, 12.00 WIB, Bagian Internis.
Samar-samar
aku mendengar suara orang bercakap-cakap. Aku berusaha melihat siapa itu. Samar..
“Ngapain kalian rame-rame berkumpul disini, pasang kalian dulu
tenda. Sudah mau turun hujan,” aku mengigau.
“Kasihan kali lah Eda5, ini. Akhirnya dapatnya boru tapi sayang sekali sepertinya tidak
bisa bertahan lama dia…” kata seorang kerabat suamiku dari Pasar Minggu, yang datang membesuk.
***
Papua, 7 Februari 1984, siang.
Di
tengah-tengah jam kerja, telepon di ruanganku berdering. Pasti kabar dari
Jakarta. Tebakanku benar adanya. Bagian personalia menyampaikan bahwa istriku
telah melahirkan seorang bayi perempuan.
Pukul
18.00 WIT, aku sudah berada di wartel. Aku menekan nomor rumah sakit.
Detik-detik menunggu tersambungnya dengan telepon di ujung sana terasa seperti
bertahun-tahun. Aku ingin segera berbicara langsung dengan istriku.
“Selamat sore, ada yang bisa kami
bantu?”
“Saya Sihombing dari Papua. Siang
tadi saya dikabari istri saya sudah melahirkan. Apakah saya bisa bicara langsung
dengannya?” tanyaku.
“Oh maaf, Pak. Istri Bapak sakit,
tidak bisa bicara.”
“Istri saya sakit apa, kenapa sampai
tidak bisa bicara?” balasku, panik.
Klik.
Terdengar suara telepon ditutup begitu saja.
Kalut
dan bingung, aku meninggalkan wartel. Menuju rumah rekan kerjaku, Mr. Lyman.
Kuceritakan padanya kejadian tadi. Aku sangat khawatir. Kenapa aku tidak
diperbolehkan berbicara dengannya? Separah apa kondisi istriku? Apakah ia bisa
sembuh? Di tengah kekalutanku, Mr. Lyman mengajakku berdoa bersama, menyerahkan
segala sesuatunya kepada Tuhan. Aku bisa merasa sedikit tenang.
Namun
ternyata itu tidak bertahan lama. Begitu kembali memasuki mobil, tanpa sadar
aku mengemudi mengelilingi kota. Tanpa tujuan. Aku tak kuasa menahan butiran
air mata yang sudah sedari tadi menggantung di pelupuk mata. Sepanjang jalan,
pikiranku berkelana kemana-mana. Tak terbayangkan olehku akan seperti apa
jadinya jika istriku pergi meninggalkanku seorang diri, dengan dua anak yang
masih kecil dan akan menyusul pula seorang bayi.
Aku
tidak siap kehilangan istriku.
“Kan sudah tahu kau Mam risikonya, makanya
dokter bilang jangan lagi hamil untuk ketiga kalinya… sekarang bagaimana kalau
sudah begini? Siapalah kawan saya membesarkan anak-anak ini?” aku berkata pada
diriku sendiri, pilu.
“Akhirnya kau dapat anak perempuan
yang kau harapkan. Yang kita harapkan. Tapi apa artinya itu kalau kau tidak ada
sama-sama kami? Apakah kau tidak tahu, aku tak bisa hidup tanpamu. Aku bisa
mati…” aku berkata sambil berurai air mata.
How do I live without you?
I want to know
How do I breathe without you?
If you ever go
How do I ever, ever survive..
How do I, how do I
Oh, how do I live..
(Trisha Yearwood – How Do I Live)
***
Jakarta, 7 Februari 1984 16.00 WIB.
“Suster, apa saya bisa lihat bayi
saya?” kataku, masih terbaring lemah di bagian internis.
“Maaf, Bu. Mempertimbangkan kondisi
Ibu saat ini, Ibu masih belum boleh bertemu dengan bayi Ibu.”
“Baiklah,” aku membalas. Kecewa.
“Oh iya, Bu. Tadi suami Ibu telpon.”
“Oh ya? Terus suster bilang apa?”
“Saya bilang Ibu sakit, tidak bisa
bicara.”
Aku
tercekat. Aku sangat mengenal suamiku. Sekarang ia pasti dilanda kekalutan… dan
bisa jadi, ia mengira aku akan meninggalkannya untuk selama-lamanya…
***
Jakarta, 8 Februari 1984.
Sudah
memasuki hari ketiga pasca melahirkan, aku belum bisa melihat bayiku.
“Tuhan, Engkau tahu kerinduanku.
Engkau akhirnya mengabulkan permintaanku. Aku tahu Engkau Maha Pengasih.
Setelah sedemikian jauh, aku tidak percaya jika Kau hanya memberikan waktu yang
singkat untukku bersama dengan bayiku. Aku ingin melihatnya. Membesarkannya…”
Demikian doaku pagi ini.
Buatku,
waktu terasa seperti berjalan di tempat. Lama sekali. Semakin membuatku
gelisah, ingin melihat bayiku. Aku melihat jam, baru pukul 15.00 WIB. Tiba-tiba
aku mendapatkan ide cemerlang. Sebentar lagi jam berkunjung untuk pasien, akan
ramai sekali. Suster jaga pasti tidak akan sadar kalau aku meninggalkan kamar
untuk melihat bayiku. Aku bisa memanfaatkan kesempatan ini.
“Dik, bisa bantu saya?” kataku pada
seorang gadis muda yang dirawat sekamar denganku.
“Bantu apa, Bu.”
“Saya mau lihat bayi saya.” Aku
berkata.
“Lho, Bu, tapi kata suster kan belum
boleh. Ibu masih belum pulih pasca operasi. Masih pakai infus. Lagipula Ibu
masih kelihatan kuning, nanti bisa menulari bayinya…”
Kalimat
terakhirnya sempat menggoyahkan niatku. Tapi rasa rindu pada bayiku
mengalahkannya.
“Tolong bantu saya, saya kepingin
lihat bayi saya. Sebentar saja,” pintaku.
“Saya sudah mengharapkan bayi ini. Sekarang setelah akhirnya saya
mendapatkannya, masakan saya tidak bisa melihatnya barang sebentar saja..”
Merasa
iba, akhirnya ia bersedia membantuku. Sambil meringis menahan nyeri, dengan
bantuan gadis itu aku berhasil duduk di kursi roda. Aku terengah-engah. Pindah
dari tempat tidur ke kursi roda ternyata menguras tenagaku, yang belum lagi
pulih sepenuhnya pasca operasi. Setelah aku bisa mengatur nafasku kembali, gadis
itu mendorongku dengan hati-hati menuju ke ruang bayi.
Degup
jantungku berpacu bersama putaran roda kursi. Tegang. Takut dipergoki dan disuruh
kembali ke kamar, sebelum sempat melihat bayiku. Aku memegangi tiang infus
sedemikian rupa. Berusaha mengurangi bunyi derit rodanya, yang bisa saja
membuat kami berdua tertangkap basah.
Mendekati
ruang bayi, jantungku berdegup semakin kencang. Sebentar lagi aku bisa melihat
putriku untuk pertama kalinya.
“Kita sudah sampai, Bu,” gadis itu
berkata.
Dari
balik kaca, mataku mencari-cari. Aku menemukannya. Sebuah box kecil, dengan
papan nama kecil didepannya, bertuliskan namaku. Tampak olehku seorang bayi
dengan kain bedong berwarna merah jambu berbaring didalamnya. Ia menggeliatkan
badannya. Kemudian menguap. Matanya mengerjap. Sedang terbangun.
“Butet6-ku..
“ aku berkata pelan.
Tanpa
sadar air mata haru jatuh dari pelupuk mataku.
***
Jakarta, akhir Maret 1984.
Kondisiku
sudah pulih. Bersama bayi perempuanku, kami menuju bandara. Pulang.
***
Papua, akhir Maret 1984.
Aku
mengemudikan mobil, memasuki area parkir bandara. Hari ini hari yang kutunggu-tunggu.
Kedatangan istri dan bayi perempuan kami dari Jakarta. Akhirnya kami akan berkumpul
bersama. Pesawat dari Jakarta telah mendarat. Aku bergegas menuju terminal
kedatangan.
Para
penumpang mulai terlihat keluar meninggalkan terminal. Aku mengenali beberapa
wajah yang melintas. Ada rekan kerjaku atau keluarganya. Mataku terus
mencari-cari. Aku menemukannya, istriku yang menggendong Anggia Anastasia Caroline
Lintje Permata Sihombing. Putri kami.
Sebagaimana orang Batak pada umumnya, ada arti dan sejarah dalam rangkaian nama putri kami. Nama
depannya, Anggia, terinspirasi dari nama Ayah mertuaku. “Anastasia” karena
istriku mengalami proses anastesi total (anesthesia) saat melahirkannya. “Caroline” karena
ia dilahirkan di rumah sakit Saint Carolus. Sementara “Lintje” gabungan dari
akhiran namaku dan nama istriku. “Permata” karena kelahirannya membuatku
berurai air mata…
***
Papua, 4.00 WIT, 1986.
“Pak
ini bekal makan siangnya.”
Suara istriku menarikku kembali ke masa
kini.
“Bapak
berangkat kerja dulu, ya, Inang. Baik-baik dirumah sama Mamak ya…” aku berkata
pada putriku sambil menyerahkannya ke dalam gendongan istriku.
Aku melihat istri
dan putriku menungguiku didepan pintu. Tangan mungil itu melambai-lambai penuh
semangat, mengantarku berangkat kerja pagi ini. Terima kasih Tuhan, untuk
keluarga kecil kami, kini kami telah sempurna, gabe. Bantu aku bekerja dengan baik hari ini, agar aku bisa
mencukupkan kebutuhan mereka. Sertai dan lindungi aku dalam pekerjaan dan
perjalananku hari ini, bawa aku kembali pada mereka tanpa kurang suatu apapun
sore nanti. Aku mengucapkan doa singkat itu dalam hati.
Aku pun melajukan
mobil menuju tambang tempat kerjaku. Siap menghadapi dinginnya tambang dan risiko bekerja di kedalaman 3600 meter dari permukaan tanah. Demi keluargaku,
my reason for breathing. I would do
anything for them.
Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh sayangku kau begitu...
Sempurna...
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh sayangku kau begitu...
Sempurna...
(Sempurna – Andra & The Backbone)
Catatan:
1 Inang: sebutan untuk
Ibu atau anak perempuan dalam bahasa Batak
2 Ucok: sebutan untuk anak laki-laki bungsu satu-satunya dalam bahasa Batak
3 kayak: seperti
4 banget: sekali
5 Eda: panggilan untuk sesama perempuan dalam Bahasa
Batak
6 Butet: sebutan untuk anak perempuan bungsu satu-satunya
dalam bahasa Batak
Surabaya, 02.08.13, 07.00 AM
(Final editing: Jakarta, 03.08.13 02.45 AM)
Terharu. Deg-degan. Bersyukurlah mempunyai kedua orang tua seperti mereka dan Tuhan yang menyempurnakan semuanya. Salam untuk keluarga. :)
ReplyDeleteIya, Kak.. I can't thank Him enough; showing me the meaning of true love, through my parents..
ReplyDeleteSalamnya sudah disampaikan, Kak..
:)