Thursday, August 1, 2013

"Hagabeon: Now You Make My Life Complete"


With Padre, circa 1986



Papua, 3.30 WIT, 1986.

Sarapan pagi sudah menungguku di meja makan. Baru saja duduk di kursi, sesosok mungil berpiyama, memeluk boneka beruang, menghampiriku.
"Selamat pagi.. sudah bangun kau, Inang1? Mau kawani Bapak sarapan, ya?"

Mengangguk pelan, ia pun mengulurkan tangannya padaku. Aku meraihnya, kemudian menaruhnya dalam pangkuanku. Istriku pun membawakannya botol susu. Aku menyesap minuman hangat dengan ditemani putri kecilku. Ini ritual kami setiap pagi. Duduk bersama menikmati minuman kami dengan cara masing-masing dalam keheningan pagi. Uap panas yang mengepul keluar dari gelas minuman, membawaku ke masa dua tahun yang lalu.

Masih jelas dalam ingatanku, percakapan dengan istriku.
            “Pak, aku hamil. Kata dokter sudah 3 bulan.”
Kabar itu menyambarku bak kilat di siang bolong. Perlu beberapa saat bagiku untuk mencerna kata-kata istriku barusan.
            “Hah?! Kok bisa?! Bukannya habis melahirkan si Ronggur dulu, kau langsung disteril? ujarku, tak percaya.
“Matilah aku kalau begitu..”
            “Lah, kenapa kau yang mati? Kan aku yang hamil?” balas istriku.

Hening.

***

Papua, akhir Mei 1981.

            “Bu, ini surat pengantar untuk proses persalinan putra kedua Ibu. Supaya begitu tiba disana nanti, mereka langsung mempersiapkan tindakan caesar,” seorang dokter menyampaikan sambil menyerahkan sepucuk amplop putih padaku.
            “Terima kasih, Dok.”
“Oh iya, Bu. Setelah tindakan caesar, nanti Ibu akan langsung disteril. Terlalu berisiko jika Ibu hamil untuk ketiga kalinya. Apalagi karena sebelumnya Ibu sudah pernah menjalani tindakan caesar. Kami sudah menuliskan rekomendasinya disitu,” dokter menambahkan.

Tenggorokanku seperti tersumbat. Pupuslah sudah kesempatanku untuk memiliki seorang putri… Beberapa waktu yang lalu ketika kontrol, dokter menyatakan bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin laki-laki. Sama dengan kakaknya, yang kini berusia 2 tahun.

Ukuran pencapaian hidup orang Batak dinilai dari 3 H: Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon. Hamoraon berasal dari kata “mamora” yang artinya kekayaan, baik finansial maupun material. Sementara hagabeon berasal dari kata “gabe” yang artinya menjadi atau sempurna; komplit. Dalam hal ini memiliki keturunan baoa (laki-laki) dan boru (perempuan). Adapun hasangapon berasal dari kata “sangap” yang artinya mampu. Dalam hal ini, menjadi pribadi yang terpandang di masyarakat.

Aku tidak menjadikan 3 H itu sebagai ukuran kebahagiaan hidupku. Tapi aku tidak bisa mengingkari perasaanku, ada sesuatu yang kurang. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku merindukan suara tawa riang seorang bocah perempuan meramaikan rumahku. Tanpanya, hidupku belum sempurna, belum gabe

I can make believe I have everything
But I can't pretend that I don't see
That without you girl my life is incomplete
(Sisqo – Incomplete)

***
Cairns, Juni 1981.

16 Juni 1981, aku melahirkan bayi keduaku. Bayi laki-laki, di rumah sakit Katolik Calvary Private Hospital di Cairns, Australia. Aku pun mengetahui suatu fakta mengejutkan. Pasca bersalin, ternyata dokter tidak langsung melakukan prosedur sterilisasi padaku sebagaimana rujukan dari Papua. Rumah sakit menolak melakukannya, karena bertentangan dengan prinsip mereka yang pro-natalis.
            We’ve got the memo, but we dismiss the sterilization request. It’s against our value.” Dokter Brian, yang membantu persalinanku menjelaskan.
            You could do that later at any other hospital.”

Ada secercah harapan baru bagiku. Untuk memiliki seorang putri. Tuhan masih memberiku kesempatan, begitu pikirku. Sekembalinya ke Papua, aku menyimpan rapat-rapat soal ini. Seiring berjalannya waktu, aku pun lupa mengenai hal itu.

***

Papua, pertengahan tahun 1983.

Aku tersadar sudah dua bulan aku tidak datang bulan. Aku pun memeriksakan diri ke rumah sakit.
            “Berdasarkan obeservasi saya, Ibu positif hamil.”
“Betul, Dok?” balasku, kaget bercampur tidak percaya.
“Betul, janinnya sehat, usianya sudah masuk bulan ke-3,” dokter menyampaikan.
“Terima kasih, Tuhan..” aku berkata lirih.

Meninggalkan rumah sakit, aku dilanda kebingungan. Bagaimana menyampaikan kabar ini pada suamiku? Buatku ini suatu kabar gembira. Tapi apakah berlaku juga dengannya? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya saat mendengar kabar ini.
Berhasil mengumpulkan keberanian, malamnya usai membereskan perabotan makan malam, aku menghampiri suamiku. Menyampaikan kabar gembira itu. Setidaknya buatku.
“Pak, aku hamil. Kata dokter sudah 3 bulan.”

***
           
Jakarta, awal Januari 1984.

Aku berangkat ke Jakarta, untuk mempersiapkan kelahiran bayiku. Setibanya di Jakarta, aku langsung kontrol ke dokter di rumah sakit Saint Carolus. Sudah bulan ke-8, aku masih belum mengetahui jenis kelamin bayi yang kukandung. Namun aku begitu optimis bayi ini perempuan. Karena aku percaya, bayi ini jawaban Tuhan atas doaku. Hingga…
  
            “Bu, sepertinya bayinya Ucok2 lagi nih,” dokter berkata.
            “Detak jantungnya kayak3 pemain bola, bag-big-bug, kencang banget4. Bayi laki-laki yang sehat.” Dokter melanjutkan.

Mendengar itu, aku merasa kecewa. Aku sangat berharap bayi yang kukandung ini perempuan..

6 Februari 1984, 18.00 WIB.

Rasa mulas tak tertahankan menyergapku. Tanda bayiku sebentar lagi akan lahir. Dengan menggunakan taksi dari Hotel Pardede tempatku menginap, aku segera menuju rumah sakit. Setibanya disana, aku diminta menunggu untuk proses persalinan normal. Padahal sesuai surat pengantar yang lalu seharusnya aku langsung di-caesar.

Pukul 21.00 aku mengalami pendarahan hebat, sehingga harus ditransfusi. Pukul 22.00 dokter melakukan tindakan caesar.

Keesokan paginya, saat visit ke ruang bersalin, dokter terkejut. Ia mendapati tubuhku mengalami pembengkakan. Kuku-kuku jariku sampai terlihat seperti mau lepas dari tempatnya. Kulitku berubah warna menjadi kuning. Ternyata tubuhku bereaksi terhadap darah yang ditransfusikan semalam. Liverku kalah berperang. Membuat kadar bilirubin dalam darahku begitu tinggi. Aku terkena Hepatitis A. Dokter menginstruksikan agar aku dipindah ke bagian internis untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

            “Bayi saya bagaimana, Dok?” aku bertanya.
            “Bayi Ibu sehat. Bayi perempuan yang sehat.” Dokter menjawab.
            “Gak salah tuh, Dok? Kapan hari katanya bayi saya laki-laki..”
            “Itu kan masih prediksi, Bu..”

Rasa bahagia meluap, membanjiri relung hatiku. Tuhan menjawab doaku! Tak sabar rasanya ingin bertemu langsung dengannya, putriku. Namun apa daya, sisa-sisa anastesi total semalam sukses membuatku kembali lelap.  
           
7 Februari 1984, 12.00 WIB, Bagian Internis.

Samar-samar aku mendengar suara orang bercakap-cakap. Aku berusaha melihat siapa itu. Samar..
“Ngapain kalian rame-rame berkumpul disini, pasang kalian dulu tenda. Sudah mau turun hujan,” aku mengigau.
“Kasihan kali lah Eda5, ini. Akhirnya dapatnya boru tapi sayang sekali sepertinya tidak bisa bertahan lama dia…” kata seorang kerabat suamiku dari Pasar Minggu, yang datang membesuk.

***

Papua, 7 Februari 1984, siang.

Di tengah-tengah jam kerja, telepon di ruanganku berdering. Pasti kabar dari Jakarta. Tebakanku benar adanya. Bagian personalia menyampaikan bahwa istriku telah melahirkan seorang bayi perempuan.

Pukul 18.00 WIT, aku sudah berada di wartel. Aku menekan nomor rumah sakit. Detik-detik menunggu tersambungnya dengan telepon di ujung sana terasa seperti bertahun-tahun. Aku ingin segera berbicara langsung dengan istriku.
            “Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?”
            “Saya Sihombing dari Papua. Siang tadi saya dikabari istri saya sudah melahirkan. Apakah saya bisa bicara langsung dengannya?” tanyaku.
            “Oh maaf, Pak. Istri Bapak sakit, tidak bisa bicara.”
            “Istri saya sakit apa, kenapa sampai tidak bisa bicara?” balasku, panik.

Klik. Terdengar suara telepon ditutup begitu saja.

Kalut dan bingung, aku meninggalkan wartel. Menuju rumah rekan kerjaku, Mr. Lyman. Kuceritakan padanya kejadian tadi. Aku sangat khawatir. Kenapa aku tidak diperbolehkan berbicara dengannya? Separah apa kondisi istriku? Apakah ia bisa sembuh? Di tengah kekalutanku, Mr. Lyman mengajakku berdoa bersama, menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Aku bisa merasa sedikit tenang.

Namun ternyata itu tidak bertahan lama. Begitu kembali memasuki mobil, tanpa sadar aku mengemudi mengelilingi kota. Tanpa tujuan. Aku tak kuasa menahan butiran air mata yang sudah sedari tadi menggantung di pelupuk mata. Sepanjang jalan, pikiranku berkelana kemana-mana. Tak terbayangkan olehku akan seperti apa jadinya jika istriku pergi meninggalkanku seorang diri, dengan dua anak yang masih kecil dan akan menyusul pula seorang bayi.

Aku tidak siap kehilangan istriku.     
            “Kan sudah tahu kau Mam risikonya, makanya dokter bilang jangan lagi hamil untuk ketiga kalinya… sekarang bagaimana kalau sudah begini? Siapalah kawan saya membesarkan anak-anak ini?” aku berkata pada diriku sendiri, pilu.
            “Akhirnya kau dapat anak perempuan yang kau harapkan. Yang kita harapkan. Tapi apa artinya itu kalau kau tidak ada sama-sama kami? Apakah kau tidak tahu, aku tak bisa hidup tanpamu. Aku bisa mati…” aku berkata sambil berurai air mata.    


How do I live without you?
I want to know
How do I breathe without you?
If you ever go
How do I ever, ever survive..
How do I, how do I
Oh, how do I live..
(Trisha Yearwood – How Do I Live)

***

Jakarta, 7 Februari 1984 16.00 WIB.

            “Suster, apa saya bisa lihat bayi saya?” kataku, masih terbaring lemah di bagian internis.
            “Maaf, Bu. Mempertimbangkan kondisi Ibu saat ini, Ibu masih belum boleh bertemu dengan bayi Ibu.”
            “Baiklah,” aku membalas. Kecewa.
            “Oh iya, Bu. Tadi suami Ibu telpon.”
            “Oh ya? Terus suster bilang apa?”
            “Saya bilang Ibu sakit, tidak bisa bicara.”

Aku tercekat. Aku sangat mengenal suamiku. Sekarang ia pasti dilanda kekalutan… dan bisa jadi, ia mengira aku akan meninggalkannya untuk selama-lamanya…

***

Jakarta, 8 Februari 1984.

Sudah memasuki hari ketiga pasca melahirkan, aku belum bisa melihat bayiku.
            “Tuhan, Engkau tahu kerinduanku. Engkau akhirnya mengabulkan permintaanku. Aku tahu Engkau Maha Pengasih. Setelah sedemikian jauh, aku tidak percaya jika Kau hanya memberikan waktu yang singkat untukku bersama dengan bayiku. Aku ingin melihatnya. Membesarkannya…” Demikian doaku pagi ini.

Buatku, waktu terasa seperti berjalan di tempat. Lama sekali. Semakin membuatku gelisah, ingin melihat bayiku. Aku melihat jam, baru pukul 15.00 WIB. Tiba-tiba aku mendapatkan ide cemerlang. Sebentar lagi jam berkunjung untuk pasien, akan ramai sekali. Suster jaga pasti tidak akan sadar kalau aku meninggalkan kamar untuk melihat bayiku. Aku bisa memanfaatkan kesempatan ini.

            “Dik, bisa bantu saya?” kataku pada seorang gadis muda yang dirawat sekamar denganku.
            “Bantu apa, Bu.”
            “Saya mau lihat bayi saya.” Aku berkata.
            “Lho, Bu, tapi kata suster kan belum boleh. Ibu masih belum pulih pasca operasi. Masih pakai infus. Lagipula Ibu masih kelihatan kuning, nanti bisa menulari bayinya…”

Kalimat terakhirnya sempat menggoyahkan niatku. Tapi rasa rindu pada bayiku mengalahkannya. 
            “Tolong bantu saya, saya kepingin lihat bayi saya. Sebentar saja,” pintaku.
“Saya sudah mengharapkan bayi ini. Sekarang setelah akhirnya saya mendapatkannya, masakan saya tidak bisa melihatnya barang sebentar saja..”

Merasa iba, akhirnya ia bersedia membantuku. Sambil meringis menahan nyeri, dengan bantuan gadis itu aku berhasil duduk di kursi roda. Aku terengah-engah. Pindah dari tempat tidur ke kursi roda ternyata menguras tenagaku, yang belum lagi pulih sepenuhnya pasca operasi. Setelah aku bisa mengatur nafasku kembali, gadis itu mendorongku dengan hati-hati menuju ke ruang bayi.

Degup jantungku berpacu bersama putaran roda kursi. Tegang. Takut dipergoki dan disuruh kembali ke kamar, sebelum sempat melihat bayiku. Aku memegangi tiang infus sedemikian rupa. Berusaha mengurangi bunyi derit rodanya, yang bisa saja membuat kami berdua tertangkap basah.

Mendekati ruang bayi, jantungku berdegup semakin kencang. Sebentar lagi aku bisa melihat putriku untuk pertama kalinya.
            “Kita sudah sampai, Bu,” gadis itu berkata.

Dari balik kaca, mataku mencari-cari. Aku menemukannya. Sebuah box kecil, dengan papan nama kecil didepannya, bertuliskan namaku. Tampak olehku seorang bayi dengan kain bedong berwarna merah jambu berbaring didalamnya. Ia menggeliatkan badannya. Kemudian menguap. Matanya mengerjap. Sedang terbangun.
            Butet6-ku.. “ aku berkata pelan.

Tanpa sadar air mata haru jatuh dari pelupuk mataku.

***

Jakarta, akhir Maret 1984.

Kondisiku sudah pulih. Bersama bayi perempuanku, kami menuju bandara. Pulang.  

***

Papua, akhir Maret 1984.

Aku mengemudikan mobil, memasuki area parkir bandara. Hari ini hari yang kutunggu-tunggu. Kedatangan istri dan bayi perempuan kami dari Jakarta. Akhirnya kami akan berkumpul bersama. Pesawat dari Jakarta telah mendarat. Aku bergegas menuju terminal kedatangan.  

Para penumpang mulai terlihat keluar meninggalkan terminal. Aku mengenali beberapa wajah yang melintas. Ada rekan kerjaku atau keluarganya. Mataku terus mencari-cari. Aku menemukannya, istriku yang menggendong Anggia Anastasia Caroline Lintje Permata Sihombing. Putri kami.

Sebagaimana orang Batak pada umumnya, ada arti dan sejarah dalam rangkaian nama putri kami. Nama depannya, Anggia, terinspirasi dari nama Ayah mertuaku. “Anastasia” karena istriku mengalami proses anastesi total (anesthesia) saat melahirkannya. “Caroline” karena ia dilahirkan di rumah sakit Saint Carolus. Sementara “Lintje” gabungan dari akhiran namaku dan nama istriku. “Permata” karena kelahirannya membuatku berurai air mata…

 
Juli 1984

***

Papua, 4.00 WIT, 1986.

                “Pak ini bekal makan siangnya.”
Suara istriku menarikku kembali ke masa kini.
                “Bapak berangkat kerja dulu, ya, Inang. Baik-baik dirumah sama Mamak ya…” aku berkata pada putriku sambil menyerahkannya ke dalam gendongan istriku. 

Aku melihat istri dan putriku menungguiku didepan pintu. Tangan mungil itu melambai-lambai penuh semangat, mengantarku berangkat kerja pagi ini. Terima kasih Tuhan, untuk keluarga kecil kami, kini kami telah sempurna, gabe. Bantu aku bekerja dengan baik hari ini, agar aku bisa mencukupkan kebutuhan mereka. Sertai dan lindungi aku dalam pekerjaan dan perjalananku hari ini, bawa aku kembali pada mereka tanpa kurang suatu apapun sore nanti. Aku mengucapkan doa singkat itu dalam hati.

Aku pun melajukan mobil menuju tambang tempat kerjaku. Siap menghadapi dinginnya tambang dan risiko bekerja di kedalaman 3600 meter dari permukaan tanah. Demi keluargaku, my reason for breathing. I would do anything for them.


Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku

Oh sayangku kau begitu...
Sempurna...
 (Sempurna – Andra & The Backbone)


Catatan:
1 Inang: sebutan untuk Ibu atau anak perempuan dalam bahasa Batak
2 Ucok: sebutan untuk anak laki-laki bungsu satu-satunya dalam bahasa Batak
3 kayak: seperti
4 banget: sekali
5 Eda: panggilan untuk sesama perempuan dalam Bahasa Batak
6 Butet: sebutan untuk anak perempuan bungsu satu-satunya dalam bahasa Batak


Surabaya, 02.08.13, 07.00 AM
(Final editing:  Jakarta, 03.08.13 02.45 AM)

2 comments:

  1. Terharu. Deg-degan. Bersyukurlah mempunyai kedua orang tua seperti mereka dan Tuhan yang menyempurnakan semuanya. Salam untuk keluarga. :)

    ReplyDelete
  2. Iya, Kak.. I can't thank Him enough; showing me the meaning of true love, through my parents..

    Salamnya sudah disampaikan, Kak..
    :)

    ReplyDelete