Suatu siang, Lorongkarto, Medan, 1962.
"Bukan
anak Mamak kami kau, rambutmu keriting. Tidak ada anak Mamak yang rambutnya
keriting selain kau. Yang tertukarnya kau di rumah sakit dengan anaknya marga Sihombing
yang juga melahirkan di rumah sakit kapan hari itu. Harusnya adek kami laki-laki
kian, bukan perempuan," Abangku berkata.
Aku menghambur
menuju kamarku. Marah, kesal, sedih, bercampur jadi satu. Aku mengumpulkan buku-buku
pelajaranku. Semua nama belakang yang tertulis di
sampul kucoret dan kuganti. Dari Simanungkalit menjadi Sihombing.
***
Malamnya, kudengar
gelegar suara Bapakku. Murka.
“Mintje, ro jo ho tu son! Ai aha do lapatan ni on?!” sambil
memegang buku-buku pelajaranku.
(“Mintje, datang dulu kau
kesini! Apa maksudnya ini?!”)
Emosiku siang tadi
kembali tersulut. Tanpa ragu, kumuntahkan semua kekesalanku.
“Iya,
katanya aku bukan anak kalian. Anaknya Sihombing aku. Mereka pasti baik-baik
sama aku. Sekarang, pulangkan aku ke orangtuaku yang sebenarnya. Kalian semua
jahat!” aku berkata dengan ketus, nafasku tak beraturan karena amarah yang
memuncak.
Bapak terkejut.
“Siapa yang bilang begitu, Inang?”
Bapakku bertanya, sorot mata dan suaranya melembut.
“Abang yang bilang begitu tadi
siang,” aku membalas cepat, masih emosi.
“Salah itu. Boru-ku kau.”
Bapak pun merangkulku.
Kemudian memanggil Abangku, menasehatinya untuk tidak menggodaku lagi seperti
itu. Usiaku sembilan tahun ketika itu.
***
Medan, April 1977.
“Selamat pagi... pos...”
Aku berjalan menuju
pintu. Mengambil surat dari tukang pos. Aku melihat-lihat nama pengirim
surat-surat hari ini sambil menyeruput kopi di teras. Buletin bulanan, surat dari
sekolah, dan.. sebuah surat beramplop putih ditujukan untuk salah seorang
putriku. Pengirimnya B. Sihombing PO Box
616 Cairns, Queensland Australia.
Marga yang
sepertinya familiar.. Aku terkenang insiden hari itu...
***
Kulihat putriku sudah
pulang dari kampus. Melintasi ruang tamu, menuju kamarnya.
“Ini
ada surat, dari Sihombing.” Aku berkata sambil menyerahkan surat tadi padanya.
Terlihat olehku semu merah jambu mewarnai pipinya.
Ia mengambil surat
itu kemudian menuju kamar.
Beberapa saat
kemudian, kulihat ia keluar dari kamar. Sudah berganti baju.
“Sudah kau baca suratnya?”
“Belum.”
“Bacalah..”
Duduk disampingku,
kulihat ia membuka amplop surat. Ia membacanya. Rasa penasaran melandaku. Ingin
tahu apa isi suratnya.
“Sudah siap kau baca suratnya?”
“Sudah, Bapa..”
“Mari sini suratnya kubaca.”
Ia menyerahkan
surat, ekspresinya sedikit tak rela.
“Oh ya, cepat-cepat balas surat
ini. Pasti ditunggu jawabannya.” Aku berkata padanya sebelum ia berlalu.
Usai membaca surat,
satu hal terlintas di benakku. Apakah ini suatu pertanda dari 15 tahun yang
lalu? Entahlah...
Honey
I'd love to change your name
Make
yours and mine one in the same
Ain't
nothin' else about you I'd ever want to change
Honey
I'd sure love to change your name
(Kenny
Chesney – I’d Love To Change Your Name)
Jakarta
04.08.13 10.00 PM
Final
Editing: Jakarta 07.08.13 12.50 AM
Waduh... kok malah jadi bersambung gini? *Penasaran Mode On*
ReplyDeleteIni prequel cerita sebelumnya, Kak..
ReplyDeleteHehehe...