Sunday, August 4, 2013

Side Story: Premonition


Suatu siang, Lorongkarto, Medan, 1962.

"Bukan anak Mamak kami kau, rambutmu keriting. Tidak ada anak Mamak yang rambutnya keriting selain kau. Yang tertukarnya kau di rumah sakit dengan anaknya marga Sihombing yang juga melahirkan di rumah sakit kapan hari itu. Harusnya adek kami laki-laki kian, bukan perempuan," Abangku berkata.

Aku menghambur menuju kamarku. Marah, kesal, sedih, bercampur jadi satu. Aku mengumpulkan buku-buku pelajaranku. Semua nama belakang yang tertulis di sampul kucoret dan kuganti. Dari Simanungkalit menjadi Sihombing.

***

Malamnya, kudengar gelegar suara Bapakku. Murka.
                “Mintje, ro jo ho tu son! Ai aha do lapatan ni on?!” sambil memegang buku-buku pelajaranku.
                (“Mintje, datang dulu kau kesini! Apa maksudnya ini?!”)

Emosiku siang tadi kembali tersulut. Tanpa ragu, kumuntahkan semua kekesalanku.
“Iya, katanya aku bukan anak kalian. Anaknya Sihombing aku. Mereka pasti baik-baik sama aku. Sekarang, pulangkan aku ke orangtuaku yang sebenarnya. Kalian semua jahat!” aku berkata dengan ketus, nafasku tak beraturan karena amarah yang memuncak.

Bapak terkejut.
                “Siapa yang bilang begitu, Inang?” Bapakku bertanya, sorot mata dan suaranya melembut.
                “Abang yang bilang begitu tadi siang,” aku membalas cepat, masih emosi.
                “Salah itu. Boru-ku kau.”

Bapak pun merangkulku. Kemudian memanggil Abangku, menasehatinya untuk tidak menggodaku lagi seperti itu. Usiaku sembilan tahun ketika itu.

***

Medan, April 1977.

                “Selamat pagi... pos...”

Aku berjalan menuju pintu. Mengambil surat dari tukang pos. Aku melihat-lihat nama pengirim surat-surat hari ini sambil menyeruput kopi di teras. Buletin bulanan, surat dari sekolah, dan.. sebuah surat beramplop putih ditujukan untuk salah seorang putriku. Pengirimnya B. Sihombing  PO Box 616 Cairns, Queensland Australia.

Marga yang sepertinya familiar.. Aku terkenang insiden hari itu...

***

Kulihat putriku sudah pulang dari kampus. Melintasi ruang tamu, menuju kamarnya.
                “Ini ada surat, dari Sihombing.” Aku berkata sambil menyerahkan surat tadi padanya. Terlihat olehku semu merah jambu mewarnai pipinya.
Ia mengambil surat itu kemudian menuju kamar.
Beberapa saat kemudian, kulihat ia keluar dari kamar. Sudah berganti baju.
                “Sudah kau baca suratnya?”
                “Belum.”
                “Bacalah..”

Duduk disampingku, kulihat ia membuka amplop surat. Ia membacanya. Rasa penasaran melandaku. Ingin tahu apa isi suratnya.

                “Sudah siap kau baca suratnya?”
                “Sudah, Bapa..”
                “Mari sini suratnya kubaca.”

Ia menyerahkan surat, ekspresinya sedikit tak rela.  

                “Oh ya, cepat-cepat balas surat ini. Pasti ditunggu jawabannya.” Aku berkata padanya sebelum ia berlalu.

Usai membaca surat, satu hal terlintas di benakku. Apakah ini suatu pertanda dari 15 tahun yang lalu? Entahlah...
    


Honey I'd love to change your name
Make yours and mine one in the same
Ain't nothin' else about you I'd ever want to change
Honey I'd sure love to change your name
(Kenny Chesney – I’d Love To Change Your Name)



Jakarta 04.08.13 10.00 PM
Final Editing: Jakarta 07.08.13 12.50 AM

2 comments:

  1. Waduh... kok malah jadi bersambung gini? *Penasaran Mode On*

    ReplyDelete
  2. Ini prequel cerita sebelumnya, Kak..
    Hehehe...

    ReplyDelete