Friday, September 6, 2013

Menjelajah Waktu di Desa Sade Rambitan, Lombok

“Family gathering kali ini tujuannya kemana ya?”
“Ada beberapa alternatif tempat. Saya sih voting ke Lombok.”
“Lombok? Memang disana ada apa?”
“Kamu harus pergi kesana, pemandangannya indah sekali. Pantainya masih alami dan disana ada suatu desa yang sangat unik.”
“Unik bagaimana?”
“Tunggu sampai kita tiba disana…”

*** 

… Beberapa pekan kemudian
Pesawat mengangkasa dari bandara internasional Juanda pukul 9.40 WIB. Setengah jam kemudian pulau Lombok mulai terlihat. Cuaca yang cerah menampakkan tiga pulau kecil di sekitar pulau utama.

 
Peta Pulau Lombok









“Nah, yang terbesar itu Gili Trawangan. Tempat snorkelling dan scuba diving yang bagus..” temanku berkata. 

Pesawat berbelok dan mulai menurunkan ketinggian, terbang rendah melewati deretan perbukitan. Aku menahan nafas, tegang. Landasan terlihat dan pesawat pun mendarat dengan mulus di bandara Selaparang pukul 11.30 waktu setempat. 

Sudah tengah hari, menjelang waktu makan siang. Rombongan kami menuju Taliwang Rama, sebuah rumah makan tradisional yang menyajikan kuliner lokal: ayam taliwang dan plecing kangkung. Menu ayam bakar yang dipasangkan dengan kangkung rebus a la Lombok. Menu ini istimewa karena bahan baku dan bumbu pedas yang menggoyang lidah. Ayam kampung muda berukuran mungil dan kangkung air yang ditanam di sungai mengalir di Lombok, menghasilkan kangkung dengan batangan besar yang renyah. Wajib dicoba bila berkunjung ke Lombok. 

Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung
Bus melaju mengikuti kontur perbukitan yang naik turun, menembus dinding hijau yang menyejukkan mata. Disisi kiri sesekali kulihat beberapa ekor kerbau duduk bersantai diatas rumput, memandang ke arah garis pantai yang berkilau disisi kanan. Nuansa pedesaan dan pantai terasa pada saat yang bersamaan. Sungguh kombinasi pemandangan yang menarik! 

Masih asyik menikmati pemandangan, bus berhenti. Tak terasa kami telah sampai di tujuan. Begitu turun dari bus, tampak olehku sebuah gapura dengan atap dari alang-alang berbentuk seperti gunungan, yang kemudian menukik ke bawah. Selamat datang di Desa Sasak Sade, Rembitan. 

Memasuki desa, kami melihat tanah lapang yang cukup luas. Sebuah balai-balai ada disisi kiri. Beberapa anak kecil suku Sasak terlihat duduk disana, menontoni kedatangan kami. Seorang pemandu yang juga merupakan warga desa, menyambut kami dengan ramah. Ia menuturkan bahwa Desa Sade merupakan salah satu dari sepuluh desa suku Sasak yang masih asli.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa Desa Sade bukanlah properti museum, bukan suatu blok pameran yang dipersiapkan untuk konsumsi turis semata. Desa Sade merupakan desa permanen yang didiami suku Sasak, yang mempertahankan keasliannya hingga kini sudah mencapai lima belas generasi. Ada sekitar seratus orang kepala keluarga yang menghuni desa ini dengan mata pencaharian utama sebagai petani.

Sambil mendengarkan penuturan pemandu, aku melihat sekeliling. Rumah-rumah dari anyaman bambu, berdekatan satu sama lain. Atapnya terbuat dari alang-alang, serupa dengan gapura di bagian depan desa yang sudah kulihat sebelumnya. 

Rumah Penduduk
Dari beberapa rumah itu, ada satu bangunan yang arsitekturnya terlihat berbeda.
“Ini bangunan apa, kok berbeda dengan yang lainnya?” tanyaku pada seorang warga yang tengah duduk-duduk disitu.
“Lumbung padi.”
Ternyata sawah penduduk desa merupakan sawah tadah hujan. Mereka hanya bisa panen sekali dalam setahun. Hasil panen disimpan di lumbung bersama (Berugaq). Sementara itu, bagian bawahnya berfungsi untuk menerima tamu karena menurut kebiasaan suku Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah.

Lumbung (Berugaq)

 Berkumpul dengan rombongan, pemandu sedang bercerita tentang kebiasaan khas suku Sasak ketika membersihkan rumah mereka. Lantai rumah dipel dengan menggunakan kotoran kerbau yang dicampur dengan sedikit air dan dibiarkan sampai mengering. Tujuannya untuk menghilangkan debu dan agar nyamuk tidak menempel serta memberikan efek hangat di dalam rumah saat malam tiba. Yang menarik, proses itu tidak meninggalkan bau tidak sedap sama sekali! 

***

Aku melihat sekeliling, menikmati suasana Desa Sade yang tenang. Waktu serasa berhenti.

Suasana Desa Sade

 Tuk tuk tuk.. ada suara ritmis nan merdu, yang seolah memanggilku mendekat. Aku berjalan mengikuti sumber suara tampak seorang warga desa sedang menenun kain ikat. Ternyata selain bertani, warga desa mempunyai sumber penghasilan tambahan yaitu kerajinan tenun ikat. Bagi suku Sasak, seorang perempuan diwajibkan untuk bisa menenun. Menjadi salah satu syarat untuk bisa menikah!

Menenun
*** 

Berbicara mengenai pernikahan, suku Sasak memiliki tradisi yang unik. Dikenal dengan kawin lari. Saat seorang perempuan ingin menikah, maka perempuan tersebut harus dilarikan lebih dulu oleh pihak keluarga laki-laki. Sehari sesudahnya, pihak keluarga laki-laki akan mengutus seseorang untuk memberitahu pihak keluarga perempuan bahwa putrinya akan dinikahkan.

Setelah pemberitahuan, barulah dilakukan kesepakatan antar keluarga untuk menentukan mahar. Biasanya berupa kerbau. Berdasarkan penuturan pemandu kami, terkait mahar, kecenderungan pernikahan di desa ini endogami. Kebanyakan pernikahan masih dengan sepupu sendiri.    

***

Disadari atau tidak, kemajuan teknologi dewasa ini membuat segala sesuatu dalam aspek kehidupan kita menjadi universal; kebudayaan universal. Namun tidak demikian jika kita berkunjung ke Desa Sade. Zaman boleh berubah, tetapi waktu di Desa Sade seolah berhenti. Solidaritas dan kebersamaan warga desa bekerja sama mempertahankan kebudayaan asli suku Sasak tetap sebagaimana adanya agar tak tergerus oleh perubahan zaman.

Hal ini mungkin terkait dengan Legenda Putri Mandalika. Dikisahkan di Pantai Selatan Pulau Lombok ada sebuah kerajaan bernama Tunjung Bitu. Di kerajaan itu ada seorang putri raja, Putri Mandalika, yang kecantikan dan keelokan perangainya terkenal hingga ke berbagai negeri. Para pangeran berdatangan dari berbagai negeri untuk meminangnya. Anehnya, tidak satupun pinangan yang ditolak putri.

Para pangeran pun bersepakat mengadu peruntungan untuk memperistri putri melalui peperangan. Raja khawatir akan terjadi pertumpahan darah. Putri berjanji pada ayahnya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan itu. Ia berpikir sehari semalam. Setelah bersemedi, ia pun mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20, bulan 10 penanggalan Sasak berikut seluruh rakyatnya masing-masing. Mereka harus datang sebelum matahari terbit.

Pada hari yang ditentukan, pantai Seger Kuta dipenuhi undangan dari berbagai negeri. Putri pun tiba dengan usungan berlapis emas. Putri berjalan hingga ke tepi, dan menyampaikan keputusannya. Bahwa dirinya untuk semua orang, ia tidak bisa memilih satu dari antara para pangeran. Ia ditakdirkan menjadi Nyale yang dapat dinikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.  Putri pun menceburkan diri ke laut.

Pulih dari keterkejutannya, orang-orang mulai mencari Putri. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Hingga kemudian muncullah binatang kecil dari dasar laut, jumlahnya banyak dan berwarna-warni. Nyale. Mereka pun beramai-ramai mengambil Nyale untuk dinikmati bersama, sebagai tanda kasih pada Putri Mandalika.  

Peristiwa ini menjadi tradisi tahunan suku Sasak, upacara Bau Nyale (menangkap cacing) yang berlangsung antara bulan Februari dan Maret. Tradisi yang sudah ada sebelum abad ke-16 Masehi dan berlangsung hingga kini. Suku Sasak terus melanjutkan tradisi ini karena percaya upacara itu mendatangkan kesejahteraan bagi yang melakukannya dan bahaya bagi mereka yang meremehkannya. Itulah mengapa suku Sasak terus mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya asli mereka.

***

Tak kenal maka tak sayang, semoga event 7 Wonders bersama Daihatsu bisa lebih mengenalkan Desa Sade dan keunikannya sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, yang perlu kita lestarikan bersama. Lima tahun sudah berlalu, ingin rasanya kembali menjelajah waktu di Desa Sade…



Catatan:
Legenda Putri Mandalika disarikan dari: