Tuesday, November 5, 2013

Pakailah Waktu Anugrah TuhanMu

Soekarno-Hatta, 06 November 2013 04.30 WIB

Ada suara senandung. Nada yang buatku familiar. Aku melihat ke kanan. Seorang Bapak, berkacamata, memgang buku kecil, renungan harian. Sementara menunggu pesawat lepas landas, Bapak itu bersaat teduh pribadi.

Selesai saat teduh, dia mengeluarkan buku, sebuah buku rohani.

Act louder than words, about your faith

Friday, September 6, 2013

Menjelajah Waktu di Desa Sade Rambitan, Lombok

“Family gathering kali ini tujuannya kemana ya?”
“Ada beberapa alternatif tempat. Saya sih voting ke Lombok.”
“Lombok? Memang disana ada apa?”
“Kamu harus pergi kesana, pemandangannya indah sekali. Pantainya masih alami dan disana ada suatu desa yang sangat unik.”
“Unik bagaimana?”
“Tunggu sampai kita tiba disana…”

*** 

… Beberapa pekan kemudian
Pesawat mengangkasa dari bandara internasional Juanda pukul 9.40 WIB. Setengah jam kemudian pulau Lombok mulai terlihat. Cuaca yang cerah menampakkan tiga pulau kecil di sekitar pulau utama.

 
Peta Pulau Lombok









“Nah, yang terbesar itu Gili Trawangan. Tempat snorkelling dan scuba diving yang bagus..” temanku berkata. 

Pesawat berbelok dan mulai menurunkan ketinggian, terbang rendah melewati deretan perbukitan. Aku menahan nafas, tegang. Landasan terlihat dan pesawat pun mendarat dengan mulus di bandara Selaparang pukul 11.30 waktu setempat. 

Sudah tengah hari, menjelang waktu makan siang. Rombongan kami menuju Taliwang Rama, sebuah rumah makan tradisional yang menyajikan kuliner lokal: ayam taliwang dan plecing kangkung. Menu ayam bakar yang dipasangkan dengan kangkung rebus a la Lombok. Menu ini istimewa karena bahan baku dan bumbu pedas yang menggoyang lidah. Ayam kampung muda berukuran mungil dan kangkung air yang ditanam di sungai mengalir di Lombok, menghasilkan kangkung dengan batangan besar yang renyah. Wajib dicoba bila berkunjung ke Lombok. 

Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung
Bus melaju mengikuti kontur perbukitan yang naik turun, menembus dinding hijau yang menyejukkan mata. Disisi kiri sesekali kulihat beberapa ekor kerbau duduk bersantai diatas rumput, memandang ke arah garis pantai yang berkilau disisi kanan. Nuansa pedesaan dan pantai terasa pada saat yang bersamaan. Sungguh kombinasi pemandangan yang menarik! 

Masih asyik menikmati pemandangan, bus berhenti. Tak terasa kami telah sampai di tujuan. Begitu turun dari bus, tampak olehku sebuah gapura dengan atap dari alang-alang berbentuk seperti gunungan, yang kemudian menukik ke bawah. Selamat datang di Desa Sasak Sade, Rembitan. 

Memasuki desa, kami melihat tanah lapang yang cukup luas. Sebuah balai-balai ada disisi kiri. Beberapa anak kecil suku Sasak terlihat duduk disana, menontoni kedatangan kami. Seorang pemandu yang juga merupakan warga desa, menyambut kami dengan ramah. Ia menuturkan bahwa Desa Sade merupakan salah satu dari sepuluh desa suku Sasak yang masih asli.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa Desa Sade bukanlah properti museum, bukan suatu blok pameran yang dipersiapkan untuk konsumsi turis semata. Desa Sade merupakan desa permanen yang didiami suku Sasak, yang mempertahankan keasliannya hingga kini sudah mencapai lima belas generasi. Ada sekitar seratus orang kepala keluarga yang menghuni desa ini dengan mata pencaharian utama sebagai petani.

Sambil mendengarkan penuturan pemandu, aku melihat sekeliling. Rumah-rumah dari anyaman bambu, berdekatan satu sama lain. Atapnya terbuat dari alang-alang, serupa dengan gapura di bagian depan desa yang sudah kulihat sebelumnya. 

Rumah Penduduk
Dari beberapa rumah itu, ada satu bangunan yang arsitekturnya terlihat berbeda.
“Ini bangunan apa, kok berbeda dengan yang lainnya?” tanyaku pada seorang warga yang tengah duduk-duduk disitu.
“Lumbung padi.”
Ternyata sawah penduduk desa merupakan sawah tadah hujan. Mereka hanya bisa panen sekali dalam setahun. Hasil panen disimpan di lumbung bersama (Berugaq). Sementara itu, bagian bawahnya berfungsi untuk menerima tamu karena menurut kebiasaan suku Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah.

Lumbung (Berugaq)

 Berkumpul dengan rombongan, pemandu sedang bercerita tentang kebiasaan khas suku Sasak ketika membersihkan rumah mereka. Lantai rumah dipel dengan menggunakan kotoran kerbau yang dicampur dengan sedikit air dan dibiarkan sampai mengering. Tujuannya untuk menghilangkan debu dan agar nyamuk tidak menempel serta memberikan efek hangat di dalam rumah saat malam tiba. Yang menarik, proses itu tidak meninggalkan bau tidak sedap sama sekali! 

***

Aku melihat sekeliling, menikmati suasana Desa Sade yang tenang. Waktu serasa berhenti.

Suasana Desa Sade

 Tuk tuk tuk.. ada suara ritmis nan merdu, yang seolah memanggilku mendekat. Aku berjalan mengikuti sumber suara tampak seorang warga desa sedang menenun kain ikat. Ternyata selain bertani, warga desa mempunyai sumber penghasilan tambahan yaitu kerajinan tenun ikat. Bagi suku Sasak, seorang perempuan diwajibkan untuk bisa menenun. Menjadi salah satu syarat untuk bisa menikah!

Menenun
*** 

Berbicara mengenai pernikahan, suku Sasak memiliki tradisi yang unik. Dikenal dengan kawin lari. Saat seorang perempuan ingin menikah, maka perempuan tersebut harus dilarikan lebih dulu oleh pihak keluarga laki-laki. Sehari sesudahnya, pihak keluarga laki-laki akan mengutus seseorang untuk memberitahu pihak keluarga perempuan bahwa putrinya akan dinikahkan.

Setelah pemberitahuan, barulah dilakukan kesepakatan antar keluarga untuk menentukan mahar. Biasanya berupa kerbau. Berdasarkan penuturan pemandu kami, terkait mahar, kecenderungan pernikahan di desa ini endogami. Kebanyakan pernikahan masih dengan sepupu sendiri.    

***

Disadari atau tidak, kemajuan teknologi dewasa ini membuat segala sesuatu dalam aspek kehidupan kita menjadi universal; kebudayaan universal. Namun tidak demikian jika kita berkunjung ke Desa Sade. Zaman boleh berubah, tetapi waktu di Desa Sade seolah berhenti. Solidaritas dan kebersamaan warga desa bekerja sama mempertahankan kebudayaan asli suku Sasak tetap sebagaimana adanya agar tak tergerus oleh perubahan zaman.

Hal ini mungkin terkait dengan Legenda Putri Mandalika. Dikisahkan di Pantai Selatan Pulau Lombok ada sebuah kerajaan bernama Tunjung Bitu. Di kerajaan itu ada seorang putri raja, Putri Mandalika, yang kecantikan dan keelokan perangainya terkenal hingga ke berbagai negeri. Para pangeran berdatangan dari berbagai negeri untuk meminangnya. Anehnya, tidak satupun pinangan yang ditolak putri.

Para pangeran pun bersepakat mengadu peruntungan untuk memperistri putri melalui peperangan. Raja khawatir akan terjadi pertumpahan darah. Putri berjanji pada ayahnya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan itu. Ia berpikir sehari semalam. Setelah bersemedi, ia pun mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20, bulan 10 penanggalan Sasak berikut seluruh rakyatnya masing-masing. Mereka harus datang sebelum matahari terbit.

Pada hari yang ditentukan, pantai Seger Kuta dipenuhi undangan dari berbagai negeri. Putri pun tiba dengan usungan berlapis emas. Putri berjalan hingga ke tepi, dan menyampaikan keputusannya. Bahwa dirinya untuk semua orang, ia tidak bisa memilih satu dari antara para pangeran. Ia ditakdirkan menjadi Nyale yang dapat dinikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.  Putri pun menceburkan diri ke laut.

Pulih dari keterkejutannya, orang-orang mulai mencari Putri. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Hingga kemudian muncullah binatang kecil dari dasar laut, jumlahnya banyak dan berwarna-warni. Nyale. Mereka pun beramai-ramai mengambil Nyale untuk dinikmati bersama, sebagai tanda kasih pada Putri Mandalika.  

Peristiwa ini menjadi tradisi tahunan suku Sasak, upacara Bau Nyale (menangkap cacing) yang berlangsung antara bulan Februari dan Maret. Tradisi yang sudah ada sebelum abad ke-16 Masehi dan berlangsung hingga kini. Suku Sasak terus melanjutkan tradisi ini karena percaya upacara itu mendatangkan kesejahteraan bagi yang melakukannya dan bahaya bagi mereka yang meremehkannya. Itulah mengapa suku Sasak terus mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya asli mereka.

***

Tak kenal maka tak sayang, semoga event 7 Wonders bersama Daihatsu bisa lebih mengenalkan Desa Sade dan keunikannya sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, yang perlu kita lestarikan bersama. Lima tahun sudah berlalu, ingin rasanya kembali menjelajah waktu di Desa Sade…



Catatan:
Legenda Putri Mandalika disarikan dari:

 

Wednesday, August 28, 2013

Teknologi

Teknologi: antara Kenyamanan dan Kemandirian

Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Slogan baru. Perkembangan teknologi diikuti dengan social media, membuat dunia seseorang meluas. Tapi pernahkah terpikir, kemajuan teknologi itu bak buah simalakama? Disatu sisi, memudahkan kehidupan tapi disisi lain melemahkan kemampuan kita juga. Sebagai contoh, banyak smartphone canggih, sudah dilengkapi dengan GPS. Tapi bagaimana ketika gadget canggih itu tidak didukung dengan operator yang mumpuni? Atau habis batere? Ada gadget jaman purba yang bisa menjawab itu. Kompas. Dulu diajarkan di pramuka, bagaimana menggunakan kompas. Sekarang? Bisa jadi banyak anak yang bahkan tidak tahu bentuk dan fungsi dari kompas. Pacific Rim, sebuah film yang tayang di bioskop-bioskop sekitar Juni 2013 lalu. Menceritakan bumi di tahun 2041, mengalami ancaman dari alien yang berasal dari portal dimensi di Samudera Pasifik. Jaeger, robot dengan teknologi canggih diciptakan untuk menyelematkan dunia dari kehancuran. Yang menarik, di salah satu adegan, beberapa robot canggih berhasil dilumpuhkan oleh Kaiju. Merusak panel listrik robot. Gypsy danger robot analog menjadi jawaban kebuntuan atas serangan monster itu. Masih dari dunia film, Transformer. era HP. Sinyal dikacaukan. Letnan Epps yang menggunakan teknologi lama, frekwensi radio untuk bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Di kesempatan lain, ada suatu acara yang saya ikuti. Menggunakan tayangan2 video. Saya percaya pasti panitia sudah mempersiapkannya dengan matang. tapi apa dinyana, pada hari H ada kendala teknis yang membuat beberapa tayangan video tidak bisa diputar. "Sekali0kali janganlah kita terlalu high-tech, tidak mengapa dengan sesuatu yang low-tech. Teknologi bisa mendekatkan yang jauh, ironisnya banyak kita jumpai keluarga2 yang keluar bersama saat makan semua sibuk dengan gadgetnya. Dunia hari ini membuat orang merasa harus selalu update dengan informasi yang ada. Internet menjadi sangat penting. Gadget canggih, begitu susah sinyal membuat tidak bisa terkoneksi dengan internet bisa membuat seseirang menjadi gelisah. 97 Jamiroquai: Virtual Insanity Future made of virtual insanity.. Jadi, bagaimana dengan Anda? Teknologi canggih atau manual?

Technology

Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Slogan baru. Perkembangan teknologi diikuti dengan social media, membuat dunia seseorang meluas. Tapi pernahkah terpikir, kemajuan teknologi itu bak buah simalakama? Disatu sisi, memudahkan

Flash Back: Priority

Saturday, August 24, 2013

The Wave



Lamat-lamat gemuruh itu memanggilku dari kejauhan. Aku menelengkan kepalaku ke sumber suara. Menunggu…

Gemuruh itu kembali terdengar, meledakkan adrenalin ke setiap sel dalam tubuhku. Sontak aku bangkit dan berlari menyongsong panggilannya. Seiring langkahku, suara itu kian kuat.

Langkahku terhenti di tepi pantai. Kupejamkan mata. Suara itu kini terdengar mantap, menyanyikan simfoni selamat datang bagiku. Angin membelai lembut wajahku. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-paruku dengan udara pantai. Membuka mata, kulihat riak ombak, seolah melambaikan tangan memanggilku mendekat.

Hamparan pasir nan lembut menyambut kedatanganku. Aku pun menghentikan langkahku. Di bawah kakiku dapat kurasakan tarikan air menuju laut, aku bergeming. Kakiku kupancangkan kuat-kuat di pasir dan kutumpukan seluruh bobot tubuhku pada kakiku. Tak lama, air itu membentuk gulungan-gulungan dan mulai bergerak mendekat, diiringi gemuruh yang sudah akrab di telingaku.

Dalam hati aku mulai menghitung mundur.
3, 2, 1, ...
Ombak itu menerjang tubuhku, menyapuku ke arah pantai.
Ah, sungguh sensasi yang sangat menyenangkan!

Secepat datangnya, laut menghirup air itu kembali. Aku pun menunggu ombak berikutnya. Gulungan air mulai terbentuk dan aku menantikannya disini. Laut mulai bergemuruh. Suara favoritku, memberi aba-aba untuk bersiap. Aku memperkokoh kuda-kudaku. Laut pun menghempaskan gulungan itu, mengayunkanku kembali ke pantai.

Pecahan ombak menyisakan buih-buih putih di permukaan air. Aku berlari-lari kesana kemari, mengejar dan meletuskan buih-buih itu dengan hidungku. Sekedar mengisi waktu, menunggu gulungan ombak berikutnya.

***

"Eh... lihat, lucu banget itu!"
"Wah iya.. kok dia enggak takut ya?"
“Biasanya kalau ada ombak kayak gitu, anjing pasti sudah kabur. Yang ini lain, malah nungguin dan main-main dengan ombak.."


***

Kenapa harus takut? Belum tahu mereka, ombak disini kan temanku juga.. aku berkata dalam hati.

“Blacki, kamu ngapain disitu? Ayo main sama kita…” salah satu temanku berseru dari bibir pantai.
“Tunggu ya.. aku mau tunjukin dulu cara main di pantai yang seru ke mereka berdua…”

Aku menatap dua orang itu, kemudian mengalihkan pandangan ke arah laut. Gulungan ombak baru sudah terbentuk. Aku bersiap menyambutnya dengan gembira. Ombak itu datang dan mengantarkanku hingga ke tepi pantai. Seru sekali!  


Nah, seperti itu caranya main di pantai… 


Teman-temanku mulai memanggil-manggilku, tak sabar. Aku pun menatap kedua orang itu, memberikan senyum terbaikku pada mereka sebelum akhirnya bergabung dengan teman-temanku. Ombak, temani mereka bermain di pantai ya… 



Pantai Tamban Indah, Malang Selatan 
Sabtu, 25 Agustus 2013 14.00 WIB