Saturday, August 3, 2013

Happy 35th Anniversary Bapak-Mamak!






3 Agustus 1978.

Iring-iringan kami memasuki Lumbanjulu, Lintong Ni Huta pukul tujuh pagi. Setibanya disana, teman-teman membantuku touch up make up, merapikan sanggul dan kebayaku. Dua belas jam berlalu sejak kami meninggalkan kota Medan. Bersama kedua orang tuaku, kami menuju rumah calon mertuaku untuk marsibuha-buhai1, sarapan pagi keluarga inti dari kedua belah pihak sebelum memulai rangkaian acara hari ini.

Setelah seremonial singkat penyerahan na margoar (tudu-tudu ni sipanganon)2 dari keluarga mempelai pria, kami pun berdoa untuk kelancaran acara hari ini dan makan bersama. Menjelang pukul sembilan, kami berangkat menuju gereja HKBP Lumbanjulu. Ibadah pemberkatan dimulai pukul sepuluh tepat. Hari ini, kami memulai lembaran pertama kehidupan pernikahan kami.

***

Kisah kami berawal ketika suatu hari aku sedang membaca Majalah Variasi, di kampusku.


Aku membolak balik halaman malajah, hingga tiba di rubrik Gelanggang Remaja. Menarik juga kalau punya teman koresponden, begitu pikirku. Mataku tertumbuk pada profil seorang pria. Fotonya paling kecil dari semua foto. Memamerkan senyum sumringah. 

Alamatnya begitu jauh, kalaupun aku menulis surat, rasanya tidak mungkin dia jauh-jauh datang sampai ke Medan. Iseng, pada bulan Februari 1977, aku pun mengirim surat padanya. Dengan dua lembar kertas surat, aku memperkenalkan diri dan sekedar menanyakan kabarnya.  

Dua bulan berlalu.
                “Ini ada surat, dari Sihombing.” Ayahku berkata sambil menyerahkan sepucuk surat padaku.
Aku mengambil surat itu. Beberapa saat kemudian,
                “Sudah kau baca suratnya?”
                “Belum.”
                “Bacalah..”

Aku membuka amplop surat. Mengeluarkan isinya, empat lembar folio putih. Aku membacanya. Ia memperkenalkan diri dan keluarganya. Memberi tahu dimana kampungnya, berapa saudaranya. Ayahnya telah tiada sejak ia masih balita.

                “Sudah siap kau baca suratnya?”
                “Sudah, Bapa..”
                “Mari sini suratnya kubaca.”

Aku menyerahkan surat ke Ayahku.

                “Oh ya, cepat-cepat balas surat ini. Pasti ditunggu jawabannya.”

Sejak itu, kami saling berkirim surat hingga di bulan Agustus ia mengambil cuti dan datang ke Medan.


… Last night, I wrote a short letter
And it went this way…
(K-Ci and JoJo – Last Night Letter)
 
***

Agustus, 1977.

Taksi membawaku dari Polonia menuju alamat yang sejak enam bulan belakangan selalu menjadi tujuan suratku. Alamat itu mengantarku pada sebuah rumah bercat kuning, tak jauh dari perempatan jalan utama.    

“Saya Sihombing Inang, Mak, Ibu...”
            “Silahkan masuk.”

Duduk di ruang tamu, aku menunggu teman korespondenku. Setelah menunggu beberapa saat, kami pun bertemu muka untuk pertama kalinya. Namun kami tak banyak bercakap-cakap karena Ayahnya menanyakan berbagai hal padaku.

… Paling sebel sama calon mertua,
Kita ngapel, eh ikut ngobrol bersame…
(N.N.)

***

Setengah jam sudah Ayahku “menginterogasi”-nya. Ia melirik jam tangannya, kemudian meminta diri pulang. Ia berjanji esok akan kembali.

Keesokannya, aku mempersiapkan diri sedemikian rupa dan menunggunya datang. Sore beranjak malam, ia tak kunjung datang.. Menghapus kekecewaanku, aku mencoba berpikir positif, siapa tahu ada urusan mendadak yang harus ia selesaikan. Esok sore ia akan datang, menepati janjinya. 

Hari berikutnya menjelang sore, kembali aku bersiap diri menunggunya datang. Namun sama seperti kemarin, ia tak datang. Demikian setiap sore aku bersiap dan menantinya, tapi ia tak kunjung datang. Hingga seminggu berlalu.

Aku mengirim surat kepadanya, meminta penjelasan. Melalui surat, ia menyampaikan bahwa ia diminta Kakaknya ke Pekanbaru. Ternyata Kakaknya menjodohkannya dengan seorang gadis disana. Ia pun berangkat ke Pekanbaru, menemui Kakaknya untuk menjelaskan kalau saat ini sudah punya teman dekat. Setelah itu langsung kembali ke tempatnya bekerja. Cutinya habis.   

Aku lega.

***

Kami rutin berkirim surat. Hingga ia datang kedua kalinya sekaligus melamarku.

***

03 Agustus 2013.

                “Oooh, jadi ternyata begitu toh ceritanya Bapak bisa jadi sama Mamak?” aku bertanya.
                “Iya, begitulah cerita kami..”
                “Happy 35th Anniversary, Bapak Mamak!”


Catatan:
1 marsibuha-buhai: berasal dari kata dasar buha artinya buka; makan bersama untuk memulai acara pernikahan
2 na margoar (tudu-tudu ni sipanganon): makanan yang sudah ditentukan pembagiannya secara adat Batak


Jakarta 03.08.13 10.45 PM
Final Editing: Jakarta 06.08.13 01.00 AM

3 comments:

  1. Kisah yang manis. Salam untuk kedua orangtuamu. Happy Anniversary! :)

    ReplyDelete
  2. waaaah, kisahnya keren banget
    salam kenal untuk mamak dan bapak ya :-)

    ReplyDelete