3 Agustus 1978.
Iring-iringan kami
memasuki Lumbanjulu, Lintong Ni Huta
pukul tujuh pagi. Setibanya disana, teman-teman membantuku touch up make up, merapikan sanggul dan kebayaku. Dua belas jam berlalu
sejak kami meninggalkan kota Medan. Bersama kedua orang tuaku, kami menuju
rumah calon mertuaku untuk marsibuha-buhai1,
sarapan pagi keluarga inti dari kedua belah pihak sebelum memulai rangkaian
acara hari ini.
Setelah seremonial
singkat penyerahan na margoar (tudu-tudu
ni sipanganon)2 dari
keluarga mempelai pria, kami pun berdoa untuk kelancaran acara hari ini dan makan
bersama. Menjelang pukul sembilan, kami berangkat menuju gereja HKBP Lumbanjulu.
Ibadah pemberkatan dimulai pukul sepuluh tepat. Hari ini, kami memulai lembaran
pertama kehidupan pernikahan kami.
***
Kisah kami berawal ketika suatu hari aku
sedang membaca Majalah Variasi, di kampusku.
Aku membolak balik
halaman malajah, hingga tiba di rubrik Gelanggang Remaja. Menarik juga kalau
punya teman koresponden, begitu pikirku. Mataku tertumbuk pada profil seorang
pria. Fotonya paling kecil dari semua foto. Memamerkan senyum sumringah.
Alamatnya begitu jauh, kalaupun aku menulis surat, rasanya tidak mungkin dia jauh-jauh datang sampai ke Medan. Iseng, pada bulan Februari 1977, aku pun mengirim surat padanya. Dengan dua lembar kertas surat, aku memperkenalkan diri dan sekedar menanyakan kabarnya.
Alamatnya begitu jauh, kalaupun aku menulis surat, rasanya tidak mungkin dia jauh-jauh datang sampai ke Medan. Iseng, pada bulan Februari 1977, aku pun mengirim surat padanya. Dengan dua lembar kertas surat, aku memperkenalkan diri dan sekedar menanyakan kabarnya.
Dua bulan berlalu.
“Ini ada surat, dari Sihombing.”
Ayahku berkata sambil menyerahkan sepucuk surat padaku.
Aku mengambil surat
itu. Beberapa saat kemudian,
“Sudah kau baca suratnya?”
“Belum.”
“Bacalah..”
Aku membuka amplop
surat. Mengeluarkan isinya, empat lembar folio putih. Aku membacanya. Ia
memperkenalkan diri dan keluarganya. Memberi tahu dimana kampungnya, berapa saudaranya.
Ayahnya telah tiada sejak ia masih balita.
“Sudah siap kau baca suratnya?”
“Sudah, Bapa..”
“Mari sini suratnya kubaca.”
Aku menyerahkan
surat ke Ayahku.
“Oh ya, cepat-cepat balas surat
ini. Pasti ditunggu jawabannya.”
Sejak itu, kami
saling berkirim surat hingga di bulan Agustus ia mengambil cuti dan datang ke
Medan.
… Last night, I wrote a short letter
And it went this way…
(K-Ci and JoJo – Last Night Letter)
***
Agustus, 1977.
Taksi membawaku dari
Polonia menuju alamat yang sejak enam bulan belakangan selalu menjadi tujuan
suratku. Alamat itu mengantarku pada sebuah rumah bercat kuning, tak jauh dari
perempatan jalan utama.
“Saya Sihombing Inang,
Mak, Ibu...”
“Silahkan
masuk.”
Duduk di ruang tamu,
aku menunggu teman korespondenku. Setelah menunggu beberapa saat, kami pun
bertemu muka untuk pertama kalinya. Namun kami tak banyak bercakap-cakap karena
Ayahnya menanyakan berbagai hal padaku.
… Paling
sebel sama calon mertua,
Kita
ngapel, eh ikut ngobrol bersame…
(N.N.)
***
Setengah jam sudah
Ayahku “menginterogasi”-nya. Ia melirik jam tangannya, kemudian meminta diri
pulang. Ia berjanji esok akan kembali.
Keesokannya, aku mempersiapkan
diri sedemikian rupa dan menunggunya datang. Sore beranjak malam, ia tak
kunjung datang.. Menghapus kekecewaanku, aku mencoba berpikir positif, siapa tahu ada urusan mendadak
yang harus ia selesaikan. Esok sore ia akan datang, menepati janjinya.
Hari berikutnya
menjelang sore, kembali aku bersiap diri menunggunya datang. Namun sama seperti
kemarin, ia tak datang. Demikian setiap sore aku bersiap dan menantinya,
tapi ia tak kunjung datang. Hingga seminggu berlalu.
Aku mengirim surat
kepadanya, meminta penjelasan. Melalui surat, ia menyampaikan bahwa ia diminta
Kakaknya ke Pekanbaru. Ternyata Kakaknya menjodohkannya dengan seorang gadis
disana. Ia pun berangkat ke Pekanbaru, menemui Kakaknya untuk menjelaskan kalau
saat ini sudah punya teman dekat. Setelah itu langsung kembali ke tempatnya
bekerja. Cutinya habis.
Aku lega.
***
Kami rutin berkirim
surat. Hingga ia datang kedua kalinya sekaligus melamarku.
***
03 Agustus 2013.
“Oooh,
jadi ternyata begitu toh ceritanya Bapak bisa jadi sama Mamak?” aku bertanya.
“Iya,
begitulah cerita kami..”
“Happy
35th Anniversary, Bapak Mamak!”
Catatan:
1 marsibuha-buhai: berasal
dari kata dasar buha artinya buka; makan bersama untuk memulai acara pernikahan
2 na margoar (tudu-tudu ni
sipanganon): makanan yang sudah ditentukan pembagiannya secara adat Batak
Jakarta
03.08.13 10.45 PM
Final
Editing: Jakarta 06.08.13 01.00 AM
Kisah yang manis. Salam untuk kedua orangtuamu. Happy Anniversary! :)
ReplyDeleteThank you, Kak.. :)
Deletewaaaah, kisahnya keren banget
ReplyDeletesalam kenal untuk mamak dan bapak ya :-)