Saturday, August 24, 2013

The Wave



Lamat-lamat gemuruh itu memanggilku dari kejauhan. Aku menelengkan kepalaku ke sumber suara. Menunggu…

Gemuruh itu kembali terdengar, meledakkan adrenalin ke setiap sel dalam tubuhku. Sontak aku bangkit dan berlari menyongsong panggilannya. Seiring langkahku, suara itu kian kuat.

Langkahku terhenti di tepi pantai. Kupejamkan mata. Suara itu kini terdengar mantap, menyanyikan simfoni selamat datang bagiku. Angin membelai lembut wajahku. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-paruku dengan udara pantai. Membuka mata, kulihat riak ombak, seolah melambaikan tangan memanggilku mendekat.

Hamparan pasir nan lembut menyambut kedatanganku. Aku pun menghentikan langkahku. Di bawah kakiku dapat kurasakan tarikan air menuju laut, aku bergeming. Kakiku kupancangkan kuat-kuat di pasir dan kutumpukan seluruh bobot tubuhku pada kakiku. Tak lama, air itu membentuk gulungan-gulungan dan mulai bergerak mendekat, diiringi gemuruh yang sudah akrab di telingaku.

Dalam hati aku mulai menghitung mundur.
3, 2, 1, ...
Ombak itu menerjang tubuhku, menyapuku ke arah pantai.
Ah, sungguh sensasi yang sangat menyenangkan!

Secepat datangnya, laut menghirup air itu kembali. Aku pun menunggu ombak berikutnya. Gulungan air mulai terbentuk dan aku menantikannya disini. Laut mulai bergemuruh. Suara favoritku, memberi aba-aba untuk bersiap. Aku memperkokoh kuda-kudaku. Laut pun menghempaskan gulungan itu, mengayunkanku kembali ke pantai.

Pecahan ombak menyisakan buih-buih putih di permukaan air. Aku berlari-lari kesana kemari, mengejar dan meletuskan buih-buih itu dengan hidungku. Sekedar mengisi waktu, menunggu gulungan ombak berikutnya.

***

"Eh... lihat, lucu banget itu!"
"Wah iya.. kok dia enggak takut ya?"
“Biasanya kalau ada ombak kayak gitu, anjing pasti sudah kabur. Yang ini lain, malah nungguin dan main-main dengan ombak.."


***

Kenapa harus takut? Belum tahu mereka, ombak disini kan temanku juga.. aku berkata dalam hati.

“Blacki, kamu ngapain disitu? Ayo main sama kita…” salah satu temanku berseru dari bibir pantai.
“Tunggu ya.. aku mau tunjukin dulu cara main di pantai yang seru ke mereka berdua…”

Aku menatap dua orang itu, kemudian mengalihkan pandangan ke arah laut. Gulungan ombak baru sudah terbentuk. Aku bersiap menyambutnya dengan gembira. Ombak itu datang dan mengantarkanku hingga ke tepi pantai. Seru sekali!  


Nah, seperti itu caranya main di pantai… 


Teman-temanku mulai memanggil-manggilku, tak sabar. Aku pun menatap kedua orang itu, memberikan senyum terbaikku pada mereka sebelum akhirnya bergabung dengan teman-temanku. Ombak, temani mereka bermain di pantai ya… 



Pantai Tamban Indah, Malang Selatan 
Sabtu, 25 Agustus 2013 14.00 WIB
 

Thursday, August 15, 2013

Lost In Translation


http://doraemon.mangawiki.org/translation-konjac/


Penggemar manga dan anime pasti tahu aneka peralatan Doraemon yang unik-unik itu. Buatku yang paling menarik itu “jelly penerjemah” (translation konyaku). Bisa membantu seseorang untuk mengerti dan berbicara semua bahasa yang ada di dunia, bahkan semesta!

The World Book Encyclopedia menyatakan, ”Seandainya semua orang menggunakan satu bahasa,
… persahabatan antarnegara akan meningkat.”

Bahasa bisa menjadi jembatan; menghubungkan perbedaan yang ada, memungkinkan perluasan komunikasi dan pertukaran informasi yang bermanfaat. Namun di sisi lain bahasa juga bisa menjadi dinding komunikasi; membatasi, memisahkan. Tak jarang kendala bahasa menimbulkan kesalahpahaman dan mendatangkan masalah. Apalagi dengan oknum-oknum yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi…

***

Surabaya, 14 Agustus 2013 10.00 PM

Di bemo1, ada suara orang bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak familiar di telinga. Ternyata dua orang asing duduk di bagian paling belakang, saling berhadapan.

Salah satu dari mereka menoleh ke penumpang yang disampingnya, sepertinya anak kuliahan yang sedari tadi memperhatikan. Mungkin penasaran, tidak biasa melihat orang asing naik angkutan umum.
                “Do you speak English?” orang asing bertanya.
                “Yes, I can. Where were you from?”
                “We’re from France.”

Anak itu kemudian menyebutkan nama-nama pemain tim nasional sepakbola Perancis. Mencoba mencairkan suasana.

                “How much do I have to pay?”

Agak gelagapan, anak kuliahan itu bertanya ke teman di depannya.
                “Ehm, gimana ngasi tahunya ya?”
Temannya hanya mengangkat bahu.

                “Dia tanya, berapa bayarnya tuh, four thousand..” aku menyeletuk.
                “Ooh iya.. four thousand,” sambil memberi isyarat dengan tangan kepada orang asing itu.
                “For each person?”
                “Yes.”
                “Do  I have to exchange?
                “Yes.”
                “How much do I have to pay to get to the bus station then?”
                “Eight thousand.”

Aku melihat bis kota berjalan pelan di belakang bemo. Kalau pakai bis, tidak perlu menyambung lagi. Langsung menuju terminal Bungur Asih. Dari spion, supir bemo juga melihat bis kota mengekor di belakangnya. Supir mempercepat laju bemo kemudian menghentikannya. Menoleh ke belakang, supir berkata, Suruh naik bis kota ae.”

                “Actually, you could use a bus to Bungur Asih directly.”
                “Where we can get the bus?”
                “You see, that bus behind us? That’s a direct bus to Bungur Asih.”
                “When do we have to stop? Now?”
                “Yes.

Aku turun dari bemo, karena akan melanjutkan perjalanan dengan arah yang sama. Aku membayar ongkos bemo diikuti salah seorang asing itu, ia menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah. Supir menatapnya kemudian menatapku. “Bilangin, kalau untuk berdua masih kurang nih.”
   “You have to pay four thousand for each person, aku berkata.
   “It’s ok, I’ll pay after him.” Teman si orang asing membalas.  

Supir memberikan uang kembali, kemudian orang asing lainnya membayar bagiannya.
              “Thank you," kedua orang asing itu berkata sebelum kami menaiki bis.

***
Saat berjalan kaki menuju kost, aku teringat blog yang kubaca siang tadi:

Seorang blogger yang bercerita tentang perjalanannya ke Thailand, dia agak kecewa karena disana membudaya perilaku berusaha mendapat keuntungan dari turis yang berkunjung. Pikirku, itu pasti tidak lepas dari masalah kendala bahasa, yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Bangga jadi orang Indonesia, masih mau membantu orang asing. Benar-benar membantu, terlepas dari kendala bahasa yang ada. Terbukti dengan kejadian tadi.

***
Desember 2006

Hari pertamaku bekerja di kantor baru, Surabaya.  Pegawai SDM mengantarkanku ke divisi penempatanku. Para pegawai disana menyambut dengan hangat dan ramah. Aku menyalami mereka satu per satu dan memperkenalkan diri.
“Selamat bergabung… Disini kita suka guyon, jadi santai saja ya..” seorang pegawai berkata.

 Jam kerja dimulai, semua mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Di tengah aktivitas, sesekali para pegawai mengobrol dan tertawa bersama. Sebenarnya aku ingin nimbrung dengan mereka. Berhubung aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, akhirnya aku diam saja.

Mereka menggunakan bahasa Indonesia, tapi berbeda. Karena sudah bercampur dengan bahasa Jawa Timur. Atau lebih tepatnya menggunakan bahasa Indonesia gaya Surabaya, alias Suroboyoan..
            “Iku arek anyar meneng ae rek.. Menengan ta arek e?”
(“Itu anak baru kok diam saja.. Apa dia orang yang pendiam?”)

Aku baru tahu artinya beberapa bulan kemudian…

Di suatu kesempatan, aku diminta menghadiri suatu rapat. Lagi-lagi, menggunakan bahasa yang tidak kumengerti. Lost in translation
“Masih mending kalau pakai bahasa Inggris. Gue jabanin dah… “ aku berkata dalam hati.

Suatu hari, ada seorang rekan kerja bertanya padaku. Aku menjelaskan.
             “Wah.. Mbulet ae…”
             (Berbelit-belit; tidak berujung pangkal)
             “Lho, tapi memang seperti itu tahapannya, Pak…”
             “Mbulet…”
             “Dibuat aja jadi lonjong atau persegi, Pak…”
 
Kali lain, saat sedang bekerja, kudengar para pegawai mengobrol. Aku tidak bisa menangkap pembicaraan mereka. Tak lama tawa mereka pecah. Aku harus menahan diri untuk tidak bangkit dari kursiku, membentangkan tangan lebar-lebar dan menarik suara: “Indonesia tanah air beta…”

Sekadar membuat mereka sadar, ada rekan yang tidak (belum) memahami bahasa yang mereka gunakan. Speak Indonesian please

***

Maret 2007

Kami sedang mempersiapkan lomba vokal grup. Aku  mencari kostum, bersama tiga orang rekan lainnya. Perjalanan diwarnai dengan obrolan dan canda tawa. Aku tidak tahu apa yang lucu. Hanya saja, saat mereka tertawa, aku ikut tertawa juga.
               “Anggia iku eruh ta?”
                (Anggia itu tahu kah?)
             “Gi, kamu ngerti ga yang kita omongin barusan?” salah satu rekan, yang juga berasal dari Jakarta bertanya padaku.
              “Yah.. pakai penafsiran aja toh. Lagian rasanya aneh, kalian semua ketawa aku ga ikut ketawa…”
Gelak tawa pun pecah didalam mobil, kali ini aku pun ikut tertawa.

***


Ketika aku pulang ke Jakarta, aku menceritakan soal ini kepada sahabatku.
                “Masak sih, Gi? Yang bener? Kok bisa lain gitu?”
            “Iya, Mar. Bahasanya tuh beda. Sampai-sampai gue berasa tinggal di  suatu tempat yang bukan Indonesia…”

Beberapa bulan kemudian, sahabatku datang berkunjung ke Surabaya. Kami berjalan-jalan di Plaza Tunjungan. Sesekali berpapasan dengan pengunjung lain yang asyik mengobrol sambil jalan. Sahabatku menunjukkan ekspresi bingung.
    “Gi, ternyata bener juga loe ya?”
                “Apa, Mar?”
                “Bahasa dan logat disini beda banget. Gue ga ngerti mereka ngomong apa…”
                “Lost in translation?”
                “Iya… banget…”
             "Kita pinjem jelly penerjemah Doraemon yuk..” selorohku sambil menyengir lebar.



Catatan:
1 bemo = angkutan umum di kota Surabaya, menggunakan mobil carry.

Final editing: Surabaya, 16 Agustus 2013 23.30 PM