|
http://doraemon.mangawiki.org/translation-konjac/
|
Penggemar manga dan
anime pasti tahu aneka peralatan
Doraemon yang unik-unik itu. Buatku yang paling menarik itu “jelly penerjemah”
(translation konyaku). Bisa membantu seseorang
untuk mengerti dan berbicara semua bahasa yang ada di dunia, bahkan semesta!
The
World Book Encyclopedia menyatakan, ”Seandainya semua orang menggunakan satu
bahasa,
…
persahabatan antarnegara akan meningkat.”
Bahasa bisa menjadi jembatan; menghubungkan perbedaan yang
ada, memungkinkan
perluasan komunikasi dan pertukaran informasi yang bermanfaat. Namun di sisi lain bahasa
juga bisa menjadi dinding komunikasi; membatasi, memisahkan. Tak jarang kendala
bahasa menimbulkan kesalahpahaman dan mendatangkan masalah. Apalagi dengan oknum-oknum yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi…
***
Surabaya, 14 Agustus 2013 10.00 PM
Di bemo1, ada suara orang bercakap-cakap dengan
bahasa yang tidak familiar di telinga. Ternyata dua orang asing duduk di bagian
paling belakang, saling berhadapan.
Salah satu dari mereka menoleh ke penumpang yang
disampingnya, sepertinya anak kuliahan yang sedari tadi memperhatikan. Mungkin
penasaran, tidak biasa melihat orang asing naik angkutan umum.
“Do you speak English?” orang asing
bertanya.
“Yes, I can. Where were you from?”
“We’re from France.”
Anak itu kemudian menyebutkan nama-nama pemain tim nasional sepakbola Perancis. Mencoba
mencairkan suasana.
“How much do I have to pay?”
Agak gelagapan, anak
kuliahan itu
bertanya ke teman di depannya.
“Ehm,
gimana ngasi tahunya ya?”
Temannya hanya
mengangkat bahu.
“Dia
tanya, berapa bayarnya tuh, four thousand..” aku menyeletuk.
“Ooh iya.. four thousand,”
sambil memberi isyarat dengan tangan
kepada orang asing itu.
“For each person?”
“Yes.”
“Do I have to
exchange?
“Yes.”
“How much do I have to pay to get to the bus station
then?”
“Eight thousand.”
Aku melihat bis kota berjalan pelan di belakang bemo. Kalau
pakai bis, tidak perlu menyambung lagi. Langsung menuju terminal Bungur Asih. Dari spion, supir bemo juga melihat bis kota mengekor di
belakangnya. Supir mempercepat laju bemo kemudian menghentikannya. Menoleh ke belakang, supir berkata, “Suruh naik bis kota ae.”
“Actually, you could use a
bus to Bungur Asih directly.”
“Where we can get the bus?”
“You see, that bus behind us? That’s a
direct bus to Bungur Asih.”
“When do we have to stop? Now?”
“Yes.”
Aku turun dari bemo,
karena akan melanjutkan perjalanan dengan arah yang sama. Aku membayar ongkos
bemo diikuti salah seorang asing itu, ia menyerahkan selembar uang lima ribu
rupiah.
Supir menatapnya kemudian menatapku. “Bilangin,
kalau untuk berdua masih kurang nih.”
“You have to pay
four thousand for each person,” aku berkata.
“It’s ok, I’ll pay
after him.” Teman si orang asing membalas.
Supir memberikan uang kembali, kemudian orang
asing lainnya membayar bagiannya.
“Thank you," kedua orang asing itu berkata sebelum kami menaiki
bis.
***
Saat berjalan kaki menuju
kost, aku teringat blog yang kubaca siang tadi:
Seorang blogger yang
bercerita tentang perjalanannya ke Thailand, dia agak kecewa karena disana
membudaya perilaku berusaha mendapat keuntungan
dari turis yang berkunjung. Pikirku, itu pasti tidak lepas dari
masalah kendala bahasa, yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak
bertanggung jawab.
Bangga jadi orang Indonesia, masih mau membantu orang asing. Benar-benar membantu, terlepas dari
kendala bahasa yang ada. Terbukti dengan kejadian tadi.
***
Desember 2006
Hari pertamaku bekerja
di kantor baru, Surabaya. Pegawai SDM mengantarkanku
ke divisi penempatanku. Para pegawai disana menyambut dengan hangat dan ramah.
Aku menyalami mereka satu per satu dan memperkenalkan diri.
“Selamat bergabung… Disini kita suka
guyon, jadi santai saja ya..” seorang
pegawai berkata.
Jam kerja dimulai, semua mulai sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing. Di tengah aktivitas, sesekali para pegawai
mengobrol dan tertawa bersama. Sebenarnya aku ingin nimbrung dengan mereka.
Berhubung aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak mengerti bahasa
yang mereka gunakan, akhirnya aku diam saja.
Mereka menggunakan
bahasa Indonesia, tapi berbeda. Karena sudah bercampur dengan bahasa Jawa
Timur. Atau lebih tepatnya menggunakan bahasa Indonesia gaya Surabaya, alias
Suroboyoan..
“Iku arek anyar meneng ae rek..
Menengan ta arek e?”
(“Itu
anak baru kok diam saja.. Apa dia orang yang pendiam?”)
Aku baru tahu artinya
beberapa bulan kemudian…
Di suatu kesempatan,
aku diminta menghadiri suatu rapat. Lagi-lagi, menggunakan bahasa yang tidak
kumengerti. Lost in translation…
“Masih mending kalau pakai bahasa
Inggris. Gue jabanin dah… “ aku berkata dalam hati.
Suatu hari, ada
seorang rekan kerja bertanya padaku. Aku menjelaskan.
“Wah.. Mbulet ae…”
(Berbelit-belit; tidak berujung
pangkal)
“Lho, tapi memang seperti itu
tahapannya, Pak…”
“Mbulet…”
“Dibuat aja jadi lonjong atau
persegi, Pak…”
Kali lain, saat
sedang bekerja, kudengar para pegawai mengobrol. Aku tidak bisa menangkap
pembicaraan mereka. Tak lama tawa mereka pecah. Aku harus menahan diri untuk
tidak bangkit dari kursiku, membentangkan tangan lebar-lebar dan menarik suara:
“Indonesia tanah air beta…”
Sekadar membuat
mereka sadar, ada rekan yang tidak (belum) memahami bahasa yang mereka gunakan.
Speak Indonesian please…
***
Maret 2007
Kami sedang mempersiapkan
lomba vokal grup. Aku mencari kostum,
bersama tiga orang rekan lainnya. Perjalanan diwarnai dengan obrolan dan canda
tawa. Aku tidak tahu apa yang lucu. Hanya saja, saat mereka tertawa, aku ikut
tertawa juga.
“Anggia iku eruh ta?”
(Anggia itu tahu kah?)
“Gi, kamu ngerti ga yang kita omongin barusan?” salah satu rekan,
yang juga berasal dari Jakarta bertanya padaku.
“Yah.. pakai penafsiran aja toh. Lagian rasanya aneh, kalian semua
ketawa aku ga ikut ketawa…”
Gelak tawa pun pecah
didalam mobil, kali ini aku pun ikut tertawa.
***
Ketika aku pulang ke
Jakarta, aku menceritakan soal ini kepada sahabatku.
“Masak sih, Gi? Yang bener? Kok bisa lain gitu?”
“Iya,
Mar. Bahasanya tuh beda. Sampai-sampai gue berasa tinggal di suatu tempat yang bukan Indonesia…”
Beberapa bulan
kemudian, sahabatku datang berkunjung ke Surabaya. Kami berjalan-jalan di Plaza
Tunjungan. Sesekali berpapasan dengan pengunjung lain yang asyik mengobrol
sambil jalan. Sahabatku menunjukkan ekspresi bingung.
“Gi,
ternyata bener juga loe ya?”
“Apa,
Mar?”
“Bahasa
dan logat disini beda banget. Gue ga ngerti mereka ngomong apa…”
“Lost
in translation?”
“Iya…
banget…”
"Kita
pinjem jelly penerjemah Doraemon yuk..” selorohku sambil menyengir lebar.
Catatan:
1 bemo = angkutan umum di kota
Surabaya, menggunakan mobil carry.
Final
editing: Surabaya, 16 Agustus 2013 23.30 PM