Minggu, 28 Juni 2013 GKI Diponegoro Surabaya
Suatu ketika seorang bayi siap dilahirkan ke dunia, menjelang diturunkan dia bertanya kepada Tuhan:
“Besok Engkau akan mengirim saya ke dunia, tapi bagaimana
cara saya hidup di sana? Saya begitu kecil dan lemah,” kata si bayi.
Tuhan
menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan
mengasihimu.”
“Di surga apa yang
saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi saya untuk
bahagia,” demikian kata si bayi.
Tuhanpun menjawab,
“Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum
setiap hari untukmu dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan jadi
lebih berbahagia.”
Si bayi pun bertanya
lagi: “Apa yang dapat saya lakukan, saat saya ingin berbicara kepada-Mu?”
Sekali lagi Tuhan
menjawab, “Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.”
Si bayipun tetap
belum puas, ia pun bertanya lagi: “Saya mendengar, di bumi banyak orang jahat,
siapa yang akan melindungi saya?”
Dengan penuh
kesabaran Tuhan menjawab, “Malaikatmu akan melindungimu, dengan taruhan jiwanya
sekalipun.”
Si bayipun tetap
belum puas dan melanjutkan pertanyaannya, “Tapi saya akan bersedih karena tidak
melihat Engkau lagi.”
Dan Tuhan menjawab
lagi, “Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Aku dan akan mengajarkan
bagaimana cara agar kamu bisa kembali kepada-Ku, walaupun sesungguhnya Aku
selalu berada di sisimu.”
Saat itu surga
begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang bayi dengan
suara lirih bertanya, “Tuhan, jika saya harus pergi sekarang, bisakah Engkau
memberitahu saya, siapa nama malaikat di rumahku nanti?”
Dan
Tuhan pun menjawab, “Kamu dapat memanggil nama malaikatmu… Ibu.”
***
Ibadah hari ini dalam rangka
memperingati Hari Anak. “Adakah anak yang sulit?” pendeta bertanya
kepada jemaat. Melanjutkan pertanyaannya, pendeta bercerita
mengenai Yohanes Surya, seorang fisikawan ternama Indonesia. Beliau dikenal
sebagai pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Dibawah bimbingannya
banyak pelajar Indonesia menjadi juara dunia di bidang fisika.
Menurut beliau, “Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya
anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang
benar”. Untuk membuktikan pendapatnya itu, Yohanes pergi ke Papua mencari siswa
yang dicap paling bodoh, yang paling sering tinggal kelas. Kemudian Yohanes
memboyong anak-anak itu ke Jakarta dan membimbing mereka secara intensif. Tahun
2011, anak-anak tersebut keluar sebagai juara Olimpiade Sains dan Matematika
Asia. Membuktikan kebenaran pendapatnya. Menurutnya pula, orang Indonesia itu
cerdas, jika diberi kesempatan dan dilatih dengan baik.
***
Kelas 2 SMU aku membaca sebuah buku: Berpikir Besar (Judul asli: Think Big Unleashing Your Potential for Excellence). Tulisan Ben Carson, seorang ahli bedah syaraf ternama di Rumah Sakit John Hopkins Amerika Serikat yang juga dosen di Universitas John Hopkins. Di usia 33 tahun, Ben menjadi direktur termuda dalam sepanjang sejarah John Hopkins, menjabat sebagai Direktur Bedah Saraf Anak (Director of Pediatric Neurosurgery). Ia pun bertindak sebagai Co-Director Craniofacial Center of The John Hopkins. Tahun 2008, George W. Bush, Presiden Amerika Serikat kala itu menganugerahkan penghargaan The Presidential Medal of Freedom kepada Ben. Suatu penghargaan sipil tertinggi di Amerika Serikat.
Dibalik prestasi dan kesuksesannya, melalui bukunya, Ben menceritakan
bahwa semasa kecil ia dikenal sebagai anak yang sulit. Bersama kakak
lelakinya ia hanya dibesarkan oleh Ibunya, Sonya Carson. Ben ketika itu adalah
anak yang temperamental dan mengalami kesulitan belajar di sekolah dasar.
Selain sekolah, waktu Ben banyak dihabiskan di depan pesawat
televisi. Hingga suatu hari, Ibu Ben menyuruhnya mengurangi menonton televisi
dan wajib membaca 2 buah buku setiap minggu serta
menuliskan ringkasan buku tersebut untuk Ibunya.
Ben tidak
mengerti mengapa
Ibunya menyuruhnya demikian.
Hingga suatu hari dikelas 5, guru menunjukkan sebuah batu dan bertanya pada para siswa apakah ada
yang bisa menyebutkan nama batu yang dipegangnya. Ben
tahu
nama batu itu. Dia pernah membaca buku mengenai
batu-batuan dan sudah bisa mengidentifikasi jenis-jenisnya. Itu pertanyaan
mudah baginya.
Tidak ada seorangpun teman dikelasnya yang bisa menjawab. Ketika Ben mengacungkan jari untuk menjawab, tawa teman-temannya sekelasnya pun pecah. Betapa tidak, Ben dianggap sebagai siswa
terbodoh di kelas dan sering dijadikan bahan lelucon oleh teman-temannya. Guru
memberikan kesempatan untuk Ben menjawab.
“Obsidian”.
“Betul!” balas guru
dengan
raut muka agak terkejut, tidak menyangka Ben bisa
menjawab dengan benar.
Ben pun menjelaskan secara rinci segala sesuatu yang ia ketahui mengenai
obsidian yang sudah ia baca.
“Reading activates and exercises the mind.
Reading forces the mind to discriminate. From the beginning, readers have to
recognize letters printed on the page, make them into words, the words into
sentences, and the sentences into concepts. Reading pushes us to use our
imagination and makes us more creatively inclined.” ― Ben Carson
Sejak saat itu, Ben sadar. Tugas mingguan dari Ibunya
ternyata sangat bermanfaat. Ben pun menyadari, pentingnya pengetahuan dan
dengan membaca bisa memperkaya pengetahuan yang kemudian dapat mengubah hidupnya.
“Knowledge is the key that unlocks all the
doors.
“I am convinced that knowledge is
power - to overcome the past, to change our own situations, to fight new
obstacles, to make better decisions.” ― Ben Carson
Saat sekolah menengah pertama prestasi Ben akademik Ben kian
meningkat, hingga akhirnya Ben melanjutkan kuliah di Universitas Yale. Suatu
hari di gereja, Ben mendengar cerita mengenai dokter-dokter misionaris dan
kemampuan mereka untuk menyembuhkan baik fisik, mental, dan spiritual. Menginspirasi
Ben untuk mengejar karir
di bidang kesehatan. Ia melanjutkan sekolahnya, meraih
gelar dokter dari Universitas Kedokteran Michigan dan kemudian menjadi
spesialis bedah saraf anak.
Berangkat
dari pengalaman pribadi di masa kecil, Ben memiliki ketertarikan untuk
memaksimalkan potensi intelektual dari setiap anak.
“It does not matter where we come from or what we look like. If we
recognize our abilities, are willing to learn and to use what we know in
helping others, we will always have a place in the world.”
“I have to come to realize that God does not want to punish us, but
rather, to fulfill our lives. God created us, loves us and wants to help us to
realize our potential so that we can be useful to others.” ― Ben Carson
Ibu berperan
penting mengantar Ben tumbuh menjadi pribadi berkualitas yang kemudian berguna
bagi orang banyak. Meskipun ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 3
sekolah dasar, tapi ia bisa melihat kecerdasan putra-putranya. Hanya saja ketika
itu mereka belum mengoptimalkan potensi yang ada pada diri mereka. Ia ingin
putra-putranya mempunyai kesempatan yang tidak pernah dimilikinya,
melalui pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik.
***
Michael Oher and Family |
Kisah lain mengenai Michael Oher. Lahir dari seorang ibu alkoholik yang juga pecandu narkoba, sementara ayahnya sering bolak balik masuk penjara. Di masa kecilnya, Michael kurang mendapat perhatian dan pendidikan disiplin. Ia mengulang kelas satu dan kelas dua. Dalam rentang 9 tahun sebagai siswa, Michael bersekolah di sembilan sekolah yang berbeda. Sejak usia 7 tahun, Michael tinggal di rumah asuh yang berbeda-beda. Michael tumbuh menjadi pribadi yang menutup diri dan sulit belajar disekolah. Melihat latar belakang demikian, tak heran jika orang menjatuhkan vonis bahwa tidak ada masa depan untuknya.
Hidup Michael
berubah ketika ia bertemu dengan Leigh Anne Tuohy. Orang tua salah satu siswa di
sekolah barunya, sekolah Kristen Briarcrest. Mengetahui latar belakang Michael,
Leigh Anne Tuohy tergerak untuk membantunya. Berbeda dengan orang kebanyakan,
alih-alih berkutat pada kelemahan Michael, Leigh Anne Tuohy melihat potensi yang ada pada Michael dan fokus
membimbing Michael mengembangkannya. Yakni sebagai atlet National Football League (NFL).
Selain itu, bersama
keluarganya, Leigh Anne Tuohy sebagai Ibu asuh, juga mendampingi Michael dalam
belajar. Hingga kemudian prestasi akademis Michael membaik. Pada akhirnya Leigh
Anne Tuohy mengadopsi Michael sebagai anggota keluarganya. Michael kini telah
menjadi seorang atlet NFL menjanjikan
dengan masa depan yang cerah. Buah ketekunan seorang Ibu mendampingi anaknya
untuk tumbuh menjadi pribadi unggulan. Kisah kehidupan Michael telah diangkat
menjadi film dengan judul: The Blind Side.
***
“Jadi, adakah anak yang sulit?” pendeta
mengulangi pertanyaannya.
Aku sudah tahu pasti jawabannya.
***
My Family: North Sumatra Trip |
Orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya.
Bersedia mengorbankan apapun demi kebaikan anaknya.
Bapakku, bungsu dari 6 bersaudara, tidak pernah mengenal Bapaknya. Bapak dari Bapakku, Opung Doli, meninggal karena sakit ketika Bapak masih
balita. Bapak tumbuh dibawah asuhan orang tua tunggal. Bapak dan Opung Boru (Ibu dari Bapakku) tinggal di Lintong Ni Huta,
suatu kampung yang jaraknya sekitar 26 km dari
kota Medan, Sumatra Utara. Setara dengan
6-7 jam perjalanan darat.
Opung Boru menyadari
betapa pentingnya pendidikan. Sehingga ketika Bapak lulus SMP, Opung Boru menyuruh Bapak merantau. “Supaya
kau jadi orang,” begitu kata Opung Boru kepada
Bapak. Sebenarnya, berat bagi Bapak meninggalkan Opung Boru. “Saya mau bikin
Mamak saya senang.” Itulah cita-cita Bapak. Akhirnya Bapak bersedia merantau.
Untuk biaya sekolah
Bapak, Opung Boru merelakan kerbau dan tanah miliknya dijual. Sebelum
Bapak berangkat, Opung Boru menyerahkan seuntai kalung miliknya yang jika dalam keadaan darurat, bisa dijual untuk
memenuhi kebutuhan Bapak. Tahun 1965, di usianya
yang ke-15 Bapak merantau ke Pekanbaru, untuk melanjutkan SMA.
Berbekal ijazah SMA, sembari menunggu
panggilan kerja, di tahun 1967 Bapak mengerjakan apapun yang bisa
dikerjakannya. Termasuk melakukan pekerjaan kasar.
Proyek galian, pembangunan bangunan baru, dilihat Bapak sebagai
sumber potensial yang bisa mendatangkan uang, untuk makan. Terkadang, kenang Bapak, Bapak berebut kertas sak semen untuk dijual
demi makanan hari itu. Namun ditengah masa-masa
sulit itu, Bapak masih bisa menyisihkan uang setiap bulan untuk dikirim ke
Opung Boru di kampung.
Lima tahun kemudian,
Bapak mendapat panggilan kerja di Balikpapan. Dari hasil kerja, Bapak
mengumpulkan uang agar di penghujung tahun bisa pulang untuk menengok Opung
Boru di Lintong. Memasuki tahun ketiga, Bapak mendapat telegram panggilan kerja
di Papua. Tawaran kerja yang lebih baik dari sebelumnya, namun pada saat yang
bersamaan itu juga berarti semakin jauh jarak yang terbentang dengan Opung
Boru.
Namun buat Bapak, jarak tersebut tidak mempengaruhi komitmen pribadinya: tiap tahun harus pulang kampung, mengunjungi
Opung Boru. Transportasi saat itu masih sangat terbatas dan
biayanya pun tidak murah tapi Bapak yakin dan percaya pasti akan ada jalan.
Tuhan mendengar doa Bapak. Setiap tahun, Bapak
bisa memboyong
kami sekeluarga pulang kampung ke Lintong Ni
Huta.
Bapak sering berkata
pada kami, “Apa yang ada pada kita ini, bukan karena hasil kerja keras Bapak semata. Tapi karena kasih karunia Tuhan saja.”
Sejak dini, Bapak
mengajarkan kami bahwa untuk mengarungi tantangan kehidupan hendaknya tidak bersandar
pada kekuatan sendiri. Andalkan Tuhan dalam segala aspek kehidupan.
Opung Boru terlebih
dulu mengajarkan nilai itu pada Bapak. Dengan caranya yang sederhana, melalui
sebuah lagu yang sering dinyanyikannya. Bapak sering menyanyikan ulang lagu itu
kepada kami, sebuah lagu pendek dan sederhana tapi cukup menunjukkan keyakinan
dan penyerahan diri pada Tuhan dalam mengarungi arus kehidupan:
Tuhan tahu, Tuhan mengerti.. Tuhan
tahu, Tuhan mengerti..
Apapun masalahmu, kau serahkan pada-Nya..
Asal
percaya saja, Jesus tolonglah..
***
Ayah dan Ibu adalah malaikat bagi anak-anaknya, yang selalu
dirindukan dekapannya, senandungnya, dan teladannya. Aku mengamini pernyataan
itu. Aku bangga dan bersyukur atas orang
tua yang Tuhan berikan padaku.
***
Menutup kotbah, pendeta berpesan agar orang tua bisa berjalan berdampingan menemani
perjalanan kehidupan anak sambil berbicara dari hati ke hati. Tidak hanya memenuhi
kebutuhan fisik anak, tapi juga kebutuhan akan perhatian, dukungan moril dan
spiritual. Sehingga ditengah tantangan hidup yang tidak mudah, anak tahu bahwa dia bisa melaluinya bersama malaikat yang berada
disisinya.
Hadirkan diri kita dalam kehidupan anak-anak, menyatakan kasih Tuhan pada mereka. Menjadi malaikat yang
selalu ada disisi mereka. Berikan kesempatan, bimbingan, dukungan, sehingga
mereka tumbuh menjadi anak-anak berkualitas yang kelak bisa hidup mandiri serta
berguna bagi orang banyak dan hidupnya memuliakan Tuhan.
Selamat Hari Anak Indonesia!
\(^^,)/
***
Through devotion, blessed
are the children
Praise the teachers, that
brings true love to many
Your devotion, opens all
life's treasures...
(Devotion - Earth, Wind & Fire)
I believe the children
are our future,
Teach them well and let
them lead the way..
Show them all the beauty
they possess inside..
Give them a sense of
pride, to make it
easier..
Let the children's
laughter, remind us
how we used to be...
(The Greatest Love of All – Whitney Houston)
Surabaya
29.07.2013 16.50 PM
No comments:
Post a Comment