Monday, July 29, 2013

“ ‘Malaikat’ yang Selalu Ada di Sisi Anak-anak ”


Minggu, 28 Juni 2013 GKI Diponegoro Surabaya



Suatu ketika seorang bayi siap dilahirkan ke dunia, menjelang diturunkan dia bertanya kepada Tuhan:
“Besok Engkau akan mengirim saya ke dunia, tapi bagaimana cara saya hidup di sana? Saya begitu kecil dan lemah,” kata si bayi.
            Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu.”
“Di surga apa yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi saya untuk bahagia,” demikian kata si bayi.
Tuhanpun menjawab, “Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum  setiap hari untukmu dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan jadi lebih berbahagia.”

Si bayi pun bertanya lagi: “Apa yang dapat saya lakukan, saat saya ingin berbicara kepada-Mu?”
Sekali lagi Tuhan menjawab, “Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa.”

Si bayipun tetap belum puas, ia pun bertanya lagi: “Saya mendengar, di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya?”
Dengan penuh kesabaran Tuhan menjawab, “Malaikatmu akan melindungimu, dengan taruhan jiwanya sekalipun.”

Si bayipun tetap belum puas dan melanjutkan pertanyaannya, “Tapi saya akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi.”
Dan Tuhan menjawab lagi, “Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Aku dan akan mengajarkan bagaimana cara agar kamu bisa kembali kepada-Ku, walaupun sesungguhnya Aku selalu berada di sisimu.”

Saat itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang bayi dengan suara lirih bertanya, “Tuhan, jika saya harus pergi sekarang, bisakah Engkau memberitahu saya, siapa nama malaikat di rumahku nanti?”
            Dan Tuhan pun menjawab, “Kamu dapat memanggil nama malaikatmu…  Ibu.”

***

Ibadah hari ini dalam rangka memperingati Hari Anak. “Adakah anak yang sulit?” pendeta bertanya kepada jemaat. Melanjutkan pertanyaannya, pendeta bercerita mengenai Yohanes Surya, seorang fisikawan ternama Indonesia. Beliau dikenal sebagai pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Dibawah bimbingannya banyak pelajar Indonesia menjadi juara dunia di bidang fisika.

Menurut beliau, “Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar”. Untuk membuktikan pendapatnya itu, Yohanes pergi ke Papua mencari siswa yang dicap paling bodoh, yang paling sering tinggal kelas. Kemudian Yohanes memboyong anak-anak itu ke Jakarta dan membimbing mereka secara intensif. Tahun 2011, anak-anak tersebut keluar sebagai juara Olimpiade Sains dan Matematika Asia. Membuktikan kebenaran pendapatnya. Menurutnya pula, orang Indonesia itu cerdas, jika diberi kesempatan dan dilatih dengan baik.

***



Kelas 2 SMU aku membaca sebuah buku: Berpikir Besar (Judul asli: Think Big Unleashing Your Potential for Excellence). Tulisan Ben Carson, seorang ahli bedah syaraf ternama di Rumah Sakit John Hopkins Amerika Serikat yang juga dosen di Universitas John Hopkins. Di usia 33 tahun, Ben menjadi direktur termuda dalam sepanjang sejarah John Hopkins, menjabat sebagai Direktur Bedah Saraf Anak (Director of Pediatric Neurosurgery). Ia pun bertindak sebagai Co-Director Craniofacial Center of The John Hopkins. Tahun 2008, George W. Bush, Presiden Amerika Serikat kala itu menganugerahkan penghargaan The Presidential Medal of Freedom kepada Ben. Suatu penghargaan sipil tertinggi di Amerika Serikat.

Dibalik prestasi dan kesuksesannya, melalui bukunya, Ben menceritakan bahwa semasa kecil ia dikenal sebagai  anak yang sulit. Bersama kakak lelakinya ia hanya dibesarkan oleh Ibunya, Sonya Carson. Ben ketika itu adalah anak yang temperamental dan mengalami kesulitan belajar di sekolah dasar.

Selain sekolah, waktu Ben banyak dihabiskan di depan pesawat televisi. Hingga suatu hari, Ibu Ben menyuruhnya mengurangi menonton televisi dan wajib membaca 2 buah buku setiap minggu serta menuliskan ringkasan buku tersebut untuk Ibunya. Ben tidak  mengerti mengapa Ibunya menyuruhnya demikian.  

Hingga suatu hari dikelas 5, guru menunjukkan sebuah batu dan bertanya pada para siswa apakah ada yang bisa menyebutkan nama batu yang dipegangnya. Ben tahu nama batu itu. Dia pernah membaca buku mengenai batu-batuan dan sudah bisa mengidentifikasi jenis-jenisnya. Itu pertanyaan mudah baginya.

Tidak ada seorangpun teman dikelasnya yang bisa menjawab.  Ketika Ben mengacungkan jari untuk menjawab, tawa teman-temannya sekelasnya pun pecah. Betapa tidak, Ben dianggap sebagai siswa terbodoh di kelas dan sering dijadikan bahan lelucon oleh teman-temannya. Guru memberikan kesempatan untuk Ben menjawab.
Obsidian”.
“Betul!” balas guru dengan raut muka agak terkejut, tidak menyangka Ben bisa menjawab dengan benar.

Ben pun menjelaskan secara rinci  segala sesuatu yang ia ketahui mengenai obsidian yang sudah ia baca.

“Reading activates and exercises the mind. Reading forces the mind to discriminate. From the beginning, readers have to recognize letters printed on the page, make them into words, the words into sentences, and the sentences into concepts. Reading pushes us to use our imagination and makes us more creatively inclined.” Ben Carson

Sejak saat itu, Ben sadar. Tugas mingguan dari Ibunya ternyata sangat bermanfaat. Ben pun menyadari, pentingnya pengetahuan dan dengan membaca bisa memperkaya pengetahuan yang kemudian dapat mengubah hidupnya.

“Knowledge is the key that unlocks all the doors.
“I am convinced that knowledge is power - to overcome the past, to change our own situations, to fight new obstacles, to make better decisions.” Ben Carson

Saat sekolah menengah pertama prestasi Ben akademik Ben kian meningkat, hingga akhirnya Ben melanjutkan kuliah di Universitas Yale. Suatu hari di gereja, Ben mendengar cerita mengenai dokter-dokter misionaris dan kemampuan mereka untuk menyembuhkan baik fisik, mental, dan spiritual. Menginspirasi Ben untuk mengejar karir di bidang kesehatan. Ia melanjutkan sekolahnya, meraih gelar dokter dari Universitas Kedokteran Michigan dan kemudian menjadi spesialis bedah saraf anak.

Berangkat dari pengalaman pribadi di masa kecil, Ben memiliki ketertarikan untuk memaksimalkan potensi intelektual dari setiap anak.

“It does not matter where we come from or what we look like. If we recognize our abilities, are willing to learn and to use what we know in helping others, we will always have a place in the world.”
“I have to come to realize that God does not want to punish us, but rather, to fulfill our lives. God created us, loves us and wants to help us to realize our potential so that we can be useful to others.” ― Ben Carson

 Ibu berperan penting mengantar Ben tumbuh menjadi pribadi berkualitas yang kemudian berguna bagi orang banyak. Meskipun ia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 3 sekolah dasar, tapi ia bisa melihat kecerdasan putra-putranya. Hanya saja ketika itu mereka belum mengoptimalkan potensi yang ada pada diri mereka. Ia ingin putra-putranya mempunyai kesempatan yang tidak pernah dimilikinya, melalui pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik.

***

Michael Oher and Family

Kisah lain mengenai Michael Oher. Lahir dari seorang ibu alkoholik yang juga pecandu narkoba, sementara ayahnya sering bolak balik masuk penjara. Di masa kecilnya, Michael kurang mendapat perhatian dan pendidikan disiplin. Ia mengulang kelas satu dan kelas dua. Dalam rentang 9 tahun sebagai siswa, Michael bersekolah di sembilan sekolah yang berbeda.  Sejak usia 7 tahun, Michael tinggal di rumah asuh yang berbeda-beda. Michael tumbuh menjadi pribadi yang menutup diri dan sulit belajar disekolah. Melihat latar belakang demikian, tak heran jika orang menjatuhkan vonis bahwa tidak ada masa depan untuknya.     

Hidup Michael berubah ketika ia bertemu dengan Leigh Anne Tuohy. Orang tua salah satu siswa di sekolah barunya, sekolah Kristen Briarcrest. Mengetahui latar belakang Michael, Leigh Anne Tuohy tergerak untuk membantunya. Berbeda dengan orang kebanyakan, alih-alih berkutat pada kelemahan Michael, Leigh Anne Tuohy melihat potensi yang ada pada Michael dan fokus membimbing Michael mengembangkannya. Yakni sebagai atlet National Football League (NFL).  

Selain itu, bersama keluarganya, Leigh Anne Tuohy sebagai Ibu asuh, juga mendampingi Michael dalam belajar. Hingga kemudian prestasi akademis Michael membaik. Pada akhirnya Leigh Anne Tuohy mengadopsi Michael sebagai anggota keluarganya. Michael kini telah menjadi seorang atlet NFL  menjanjikan dengan masa depan yang cerah. Buah ketekunan seorang Ibu mendampingi anaknya untuk tumbuh menjadi pribadi unggulan. Kisah kehidupan Michael telah diangkat menjadi film dengan judul: The Blind Side.     

***

“Jadi, adakah anak yang sulit?” pendeta mengulangi pertanyaannya.
Aku sudah tahu pasti jawabannya.

*** 

My Family: North Sumatra Trip



Orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Bersedia mengorbankan apapun demi kebaikan anaknya.

Bapakku, bungsu dari 6 bersaudara, tidak pernah mengenal Bapaknya. Bapak dari Bapakku, Opung Doli, meninggal karena sakit ketika Bapak masih balita. Bapak tumbuh dibawah asuhan orang tua tunggal. Bapak dan Opung Boru (Ibu dari Bapakku) tinggal di Lintong Ni Huta, suatu kampung yang jaraknya sekitar 26 km dari kota Medan, Sumatra Utara. Setara dengan 6-7 jam perjalanan darat.

Opung Boru menyadari betapa pentingnya pendidikan. Sehingga ketika Bapak lulus SMP, Opung Boru menyuruh Bapak merantau. “Supaya kau jadi orang,” begitu kata Opung Boru kepada Bapak. Sebenarnya, berat bagi Bapak meninggalkan Opung Boru. “Saya mau bikin Mamak saya senang.” Itulah cita-cita Bapak. Akhirnya Bapak bersedia merantau.

Untuk biaya sekolah Bapak, Opung Boru merelakan kerbau dan tanah miliknya dijual. Sebelum Bapak berangkat, Opung Boru menyerahkan seuntai kalung miliknya yang jika dalam keadaan darurat, bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan Bapak. Tahun 1965, di usianya yang ke-15 Bapak merantau ke Pekanbaru, untuk melanjutkan SMA.

Berbekal ijazah SMA, sembari menunggu panggilan kerja, di tahun 1967 Bapak mengerjakan apapun yang bisa dikerjakannya. Termasuk melakukan pekerjaan kasar. Proyek galian, pembangunan bangunan baru, dilihat Bapak sebagai sumber potensial yang bisa mendatangkan uang, untuk makan. Terkadang, kenang Bapak, Bapak berebut kertas sak semen untuk dijual demi makanan hari itu. Namun ditengah masa-masa sulit itu, Bapak masih bisa menyisihkan uang setiap bulan untuk dikirim ke Opung Boru di kampung.

Lima tahun kemudian, Bapak mendapat panggilan kerja di Balikpapan. Dari hasil kerja, Bapak mengumpulkan uang agar di penghujung tahun bisa pulang untuk menengok Opung Boru di Lintong. Memasuki tahun ketiga, Bapak mendapat telegram panggilan kerja di Papua. Tawaran kerja yang lebih baik dari sebelumnya, namun pada saat yang bersamaan itu juga berarti semakin jauh jarak yang terbentang dengan Opung Boru.

Namun buat Bapak, jarak tersebut tidak mempengaruhi komitmen pribadinya: tiap tahun harus pulang kampung, mengunjungi Opung Boru. Transportasi saat itu masih sangat terbatas dan biayanya pun tidak murah tapi Bapak yakin dan percaya pasti akan ada jalan. Tuhan mendengar doa Bapak. Setiap tahun, Bapak bisa memboyong kami sekeluarga pulang kampung ke Lintong Ni Huta.

Bapak sering berkata pada kami, “Apa yang ada pada kita ini, bukan karena hasil kerja keras Bapak semata. Tapi karena kasih karunia Tuhan saja.
Sejak dini, Bapak mengajarkan kami bahwa untuk mengarungi tantangan kehidupan hendaknya tidak bersandar pada kekuatan sendiri. Andalkan Tuhan dalam segala aspek kehidupan.

Opung Boru terlebih dulu mengajarkan nilai itu pada Bapak. Dengan caranya yang sederhana, melalui sebuah lagu yang sering dinyanyikannya. Bapak sering menyanyikan ulang lagu itu kepada kami, sebuah lagu pendek dan sederhana tapi cukup menunjukkan keyakinan dan penyerahan diri pada Tuhan dalam mengarungi arus kehidupan:
Tuhan tahu, Tuhan mengerti.. Tuhan tahu, Tuhan mengerti..
Apapun masalahmu, kau serahkan pada-Nya..
Asal percaya saja, Jesus tolonglah..

***

Ayah dan Ibu adalah malaikat bagi anak-anaknya, yang selalu dirindukan dekapannya, senandungnya, dan teladannya. Aku mengamini pernyataan itu. Aku bangga dan bersyukur atas orang tua yang Tuhan berikan padaku.

***

Menutup kotbah, pendeta berpesan agar orang tua bisa berjalan berdampingan menemani perjalanan kehidupan anak sambil berbicara dari hati ke hati. Tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik anak, tapi juga kebutuhan akan perhatian, dukungan moril dan spiritual. Sehingga ditengah tantangan hidup yang tidak mudah, anak tahu bahwa dia bisa melaluinya bersama malaikat yang berada disisinya.

Hadirkan diri kita dalam kehidupan anak-anak, menyatakan kasih Tuhan pada mereka. Menjadi malaikat yang selalu ada disisi mereka. Berikan kesempatan, bimbingan, dukungan, sehingga mereka tumbuh menjadi anak-anak berkualitas yang kelak bisa hidup mandiri serta berguna bagi orang banyak dan hidupnya memuliakan Tuhan.

Selamat Hari Anak Indonesia! \(^^,)/

***

Through devotion, blessed are the children
Praise the teachers, that brings true love to many
Your devotion, opens all life's treasures...
(Devotion - Earth, Wind & Fire)

I believe the children are our future,
Teach them well and let them lead the way..
Show them all the beauty they possess inside..
Give them a sense of pride, to make it easier..
Let the children's laughter, remind us how we used to be...
(The Greatest Love of All – Whitney Houston)



Surabaya 29.07.2013 16.50 PM

 

No comments:

Post a Comment