Suatu pagi, Jakarta, tahun 1996.
"Oi, bangun.
Sudah jam berapa ini laah," suara Bibik lamat-lamat memanggilku dari
alam mimpi.
"Jam berapa sih, emangnya?" balasku sambil menggosok mata.
"Sudah mau jam
tujuh ini laaah, kau belum turun-turun juga sih makanya
Bibik naik,"
ujar Bibik dengan logatnya yang khas.
Aku
melirik jam dinding, 20 menit menuju jam
7. Astaga… aku hanya punya waktu 15 menit untuk bersiap ke sekolah!
Sontak aku melonjak dari tempat tidur,
meraih handuk dan segera berlari menuju kamar mandi. Aku mandi secepat kilat. Setelah itu, mengambil seragam putih biru dari lemari dan buru-buru mengenakannya. Sambil menyisir rambut, aku memasukkan
buku-buku pelajaran hari itu kedalam ransel.
"Ayo, sarapan
dulu laaah," Bibik berkata
saat melihatku melintas mengambil sepatu dari rak.
"Wah, Bik, saya ga sarapan yaaa.. Sudah telat nih.." sahutku.
"Kau ini laaah makanya jangan tidur
malam-malam. Akhirnya kesiangan kan? Cobalah aku tidak
naik, bisa-bisa tidak
sekolah kau hari ini..."
"Yah, saya kan tadi malam kerjakan
tugas.. Maaf
ya, Bik.. hari ini sarapannya buat Bibik aja.." balasku sambil
menyengir lebar.
Setelah
menutup pagar, aku menggunakan jurus jalan cepat andalanku berangkat ke
sekolah. Jarak rumah dengan
sekolah yang hanya sekitar 600
meter. Cukup ditempuh dengan berjalan kaki 5 menit. Dering bel sekolah mengiringiku memasuki halaman
sekolah. Pukul 7. Aku menarik nafas lega, tiba di sekolah tepat
pada waktunya…
***
Minggu siang, GKI
Diponegoro Surabaya, 28 Juli 2013
"Jemaat
sekalian, mohon kesediaannya untuk bisa tinggal sebentar karena ada presentasi
dari Wahana Visi Indonesia," salah seorang Majelis Jemaat mengumumkan.
Seorang gadis muda
berusia sekitar 20 tahunan berjalan menuju mimbar. Setelah memperkenalkan diri,
ia menceritakan kondisi anak-anak di Sikka, sebuah kabupaten yang
terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur.
Untuk berangkat ke sekolah, mereka harus berjalan kaki, beberapa dari mereka ada yang tidak mengenakan
sepatu. Padahal kontur alam
dan jalan yang harus mereka tempuh tidaklah mudah. Apalagi saat musim penghujan tiba.
Setelah itu,
ditampilkan sebuah foto. Di dapur. Terdapat
wajan
berisi ada makanan yang nantinya akan dibagikan untuk seluruh keluarga. Tampak pula disana, ada hewan peliharaan berkeliaran
di sekitar dapur. Ini merupakan salah satu masalah juga
yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Kesadaran masyarakat akan kebersihan masih minim. Sehingga tak jarang anak-anak disana meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun.
Apa
yang bisa kita lakukan untuk
mereka? Ada
program sponsor anak (Child Sponsorship
Program), dimana sponsor mendonasikan 150 ribu rupiah per bulannya. Dana
yang terkumpul kelak disalurkan kepada anak sponsor tidak dalam bentuk tunai,
melainkan dalam
bentuk program-program di bidang kesehatan, pendidikan,
juga perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakat dimana anak sponsor
tinggal.
Melalui pemutaran
video disampaikan bahwa ada 4 elemen penting dalam program sponsor anak.
Sponsor, anak sponsor, keluarga dan masyarakat dimana anak sponsor tinggal,
serta Wahana Visi Indonesia. Wahana Visi Indonesia membantu menyalurkan bantuan
kepada anak-anak sponsor agar mereka mendapatkan masa depan yang baik,
mencarikan lokasi anak sponsor dan masyarakat yang membutuhkan, serta
menyiapkan anak-anak sponsor untuk menjadi duta dimana mereka tinggal.
Kegiatan-kegiatan
Wahana Visi Indonesia bersifat membimbing, mendidik, memberikan modal pada anak
sponsor, keluarga dan masyarakat dimana mereka tinggal. Suatu program jangka
panjang hingga 15 tahun kedepan yang diharapkan akan menghasilkan dampak
berkepanjangan bagi kehidupan mereka.
Berikutnya seorang gadis
muda, yang masih duduk di bangku kuliah, menuturkan pengalamannya menjadi
sponsor anak. Setiap bulan, ia menyisihkan uang jajannya untuk seorang anak
laki-laki di Singkawang. Gadis itu menambahkan bahwa menjadi sponsor anak itu
merupakan suatu komitmen pribadi. Komunikasi gadis itu dengan anak sponsornya
diawali dengan surat pendek. Robby, memperkenalkan dirinya sebagai anak yang
hobi main bola dan bercita-cita menjadi polisi.
Mereka sering
berkomunikasi melalui surat, namun belum pernah bertemu muka. Hingga suatu
hari, gadis itu berkesempatan berkunjung ke Singkawang. Ia menyaksikan betapa
panjang perjalanan yang harus ia tempuh, menuju lokasi terpencil melalui
sungai. Setibanya di Singkawang, ia pun bertemu dengan sponsor-sponsor lain.
Beberapa diantara mereka ada yang menjadi sponsor untuk 2 hingga 3 orang anak
sekaligus.
Lebih lanjut, ia
menyaksikan bantuan nyata yang sudah dilakukan disana. Diantaranya pembangunan
sarana prasarana posyandu yang memadai, akses air bersih, serta sebuah rumah
kayu telah didirikan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat sekitar. Jelas
terlihat bahwa bantuan yang disalurkan Wahana Visi Indonesia bukan berupa dana
sementara, tetapi program jangka panjang bagi anak sponsor, keluarga, dan
masyarakat sekitar agar dapat menjadi mandiri. Menutup kesaksiannya ia mengajak
agar kita sama-sama membuat perubahan, membantu anak-anak dengan menjadi
sponsor sehingga mereka bisa mendapatkan masa depan yang cerah.
***
Di Indonesia masih
banyak daerah-daerah yang terpencil dan sulit diakses. Dampaknya pada pendidikan
anak cukup jelas. Setiap hari, banyak anak-anak yang harus berjuang untuk mencapai
sekolah mereka. Berjalan kaki berkilo-kilo meter menempuh medan yang sulit
untuk tiba di sekolah. Sarana prasarana pendukung belajar dan dana yang
terbatas membuat banyak anak-anak terpaksa harus putus sekolah. Padahal
semangat mereka untuk belajar sangat tinggi dan punya potensi yang patut
diperhitungkan.
Sudah seharusnya kita
mencurahkan perhatian lebih untuk anak-anak tersebut, mengingat anak adalah
generasi penerus masa depan. Suatu ketika Yohanes Surya, seorang fisikawan Indonesia,
mengadakan suatu penelitian. Ia membawa beberapa anak dari daerah terpencil di
Indonesia untuk dididik dan pada akhirnya membuatnya tiba pada suatu kesimpulan
bahwa orang
Indonesia itu pandai, asal diberikan
kesempatan.
***
Presentasi dari
Wahana Visi Indonesia membuatku merasa bersyukur, bahwa selama ini aku tidak
pernah mengalami kesulitan atau kekurangan untuk biaya pendidikan dan sarana
pendukungnya. Itu tidak lepas dari perjuangan orang tuaku yang bekerja keras
guna mencukupi kebutuhanku akan pendidikan. Tugasku hanya satu: belajar.
Sesuatu yang mungkin eksklusif bagi anak-anak yang tinggal di daerah terpencil.
Aku terkenang
pengalaman Bapakku, yang harus berjuang untuk pendidikan yang lebih baik, demi
masa depan. Beliau menceritakan karena keterbatasan biaya, Bapak hanya bisa
mengenyam pendidikan formal hingga bangku SMA. Lulus SMA di tahun 1967, Bapak
langsung bekerja. Apapun yang bisa dikerjakannya, untuk bertahan hidup. Setelah
sempat bekerja serabutan dan merantau ke beberapa tempat, Bapak mendapat
pekerjaan yang lebih baik.
Setiap bulan Bapak
menyisihkan sebagian dari gajinya, yang diinvestasikan dalam bentuk emas. Rencananya
emas yang terkumpul akan dijual, kemudian Bapak akan mengundurkan diri dari
pekerjaannya di suatu perusahaan asing di Papua. Uang hasil penjualan emas akan digunakan untuk
biaya kuliah di Jakarta dan membeli 1 unit taksi. Jika tidak ada perkuliahan,
Bapak akan mencari uang dengan menjadi supir taksi.
Manusia boleh
berencana, tapi kehendak Tuhan yang jadi. Ketika itu tahun 1975, sudah ada
peminat emas Bapak. Saat tinggal melakukan transaksi, emas Bapak hilang!
Seseorang mencurinya dari barak tempat
Bapak tinggal. Kenyataan pahit yang tidak bisa dielakkan. Kejadian itu menjadi
motivasi bagi Bapak untuk semakin giat bekerja. Agar kelak tersedia dana yang
cukup untuk biaya pendidikan anak-anaknya.
Aku merasa bersyukur
dan sangat beruntung karena cita-cita Bapak tercapai. Aku dan kedua orang abangku
bisa mengecap pendidikan hingga bangku perguruan tinggi. Bapak selalu berkata, “Kalau ada keperluanmu untuk sekolah,
buku-buku, atau apa saja, bilang sama Bapak. Bapak pasti kasih. Jangan kuatir
soal biayanya, itu urusan Bapak. Yang penting kau bisa belajar dengan baik.”
Bapak percaya, pendidikan bisa mengantarkan seseorang menuju masa depan yang
menjanjikan.
“I am convinced that knowledge is power - to
overcome the past,
to change our own situations,
to change our own situations,
to fight new obstacles, to make better decisions.
Knowledge is the key that unlocks all the doors.”
― Ben Carson
Penghujung tahun 2010,
Bapak membawa kami sekeluarga ke kampung asalnya. Lintong Ni Huta, sekitar 26
km dari kota Medan, Sumatra Utara. Untuk mencapainya, kami harus melakukan
perjalanan darat selama 6-7 jam, melalui perbukitan dan hutan-hutan. Tiba di
Lintong, aku melihat beberapa anak sekolah dasar berjalan kaki melalui jalan menanjak
yang cukup terjal.
“Dulu Bapak ke sekolah bagaimana?” aku
bertanya.
“Ya jalan kaki… Macam anak-anak yang kau
lihat tadi...” jawab Bapak.
“Kan jauh, mana jalannya menanjak kayak gitu
lagi…” balasku.
“Kalau kami dulu, tidak jadi masalah itu.
Yang penting tetap harus sekolah, supaya pintar toh…” Bapak berkata sambil tersenyum.
***
Mari lakukan sesuatu
untuk pendidikan anak-anak Indonesia. Untuk masa depan mereka yang juga masa
depan Indonesia. Dengan menjadi sponsor anak salah satunya. Let's make a difference, for Indonesia’s better future!
Surabaya 30.07.2013
11.35 PM
Beberapa bulan ini saya akrab dengan anak-anak dari Sumba. Mereka memang sangat perlu ditolong. Oleh karena itu saya bersama teman mendirikan organisasi di mana saya mulai bekerja besok pagi.
ReplyDeleteSelamat bertugas di tempat yang baru, Pak..
DeleteSemoga bisa membantu anak-anak di sana mewujudkan cita-cita mereka, menggapai masa depan yang cerah..
:)