Tuesday, July 30, 2013

Let's Make A Difference, For Indonesia’s Better Future!


Suatu pagi, Jakarta, tahun 1996.

"Oi, bangun. Sudah jam berapa ini laah," suara Bibik lamat-lamat memanggilku dari alam mimpi. 
 "Jam berapa sih, emangnya?" balasku sambil menggosok mata.
"Sudah mau jam tujuh ini laaah, kau belum turun-turun juga sih makanya Bibik naik," ujar Bibik dengan logatnya yang khas.

Aku melirik jam dinding, 20 menit menuju jam 7. Astaga aku hanya punya waktu 15 menit untuk bersiap ke sekolah! Sontak aku melonjak dari tempat tidur, meraih handuk dan segera berlari menuju kamar mandi. Aku mandi secepat kilat. Setelah itu, mengambil seragam putih biru dari lemari dan buru-buru mengenakannya. Sambil menyisir rambut, aku memasukkan buku-buku pelajaran hari itu kedalam ransel. 
  
"Ayo, sarapan dulu laaah," Bibik berkata saat melihatku melintas mengambil sepatu dari rak.
"Wah, Bik, saya ga sarapan yaaa.. Sudah telat nih.." sahutku.
"Kau ini laaah makanya jangan tidur malam-malam.  Akhirnya kesiangan kan? Cobalah aku tidak naik, bisa-bisa tidak sekolah kau hari ini..."
"Yah, saya kan tadi malam kerjakan tugas..  Maaf ya, Bik.. hari ini sarapannya buat Bibik aja.." balasku sambil menyengir lebar.

Setelah menutup pagar, aku menggunakan jurus jalan cepat andalanku berangkat ke sekolah. Jarak rumah dengan sekolah yang hanya sekitar 600 meter. Cukup ditempuh dengan berjalan kaki 5 menit. Dering bel sekolah mengiringiku memasuki halaman sekolah. Pukul 7. Aku menarik nafas lega, tiba di sekolah tepat pada waktunya… 

***

Minggu siang, GKI Diponegoro Surabaya, 28 Juli 2013

"Jemaat sekalian, mohon kesediaannya untuk bisa tinggal sebentar karena ada presentasi dari Wahana Visi Indonesia," salah seorang Majelis Jemaat mengumumkan.    

Seorang gadis muda berusia sekitar 20 tahunan berjalan menuju mimbar. Setelah memperkenalkan diri, ia menceritakan kondisi anak-anak di Sikka, sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk berangkat ke sekolah, mereka harus berjalan kaki, beberapa dari mereka ada yang tidak mengenakan sepatu. Padahal kontur alam dan jalan yang harus mereka tempuh tidaklah mudah. Apalagi saat musim penghujan tiba.

Setelah itu, ditampilkan sebuah foto. Di dapur. Terdapat wajan berisi ada makanan yang nantinya akan dibagikan untuk seluruh keluarga. Tampak pula disana, ada hewan peliharaan berkeliaran di sekitar dapur. Ini merupakan salah satu masalah juga yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Kesadaran masyarakat akan kebersihan masih minim. Sehingga tak jarang anak-anak disana meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Ada program sponsor anak (Child Sponsorship Program), dimana sponsor mendonasikan 150 ribu rupiah per bulannya. Dana yang terkumpul kelak disalurkan kepada anak sponsor tidak dalam bentuk tunai, melainkan dalam bentuk program-program di bidang kesehatan, pendidikan, juga perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakat dimana anak sponsor tinggal.

Melalui pemutaran video disampaikan bahwa ada 4 elemen penting dalam program sponsor anak. Sponsor, anak sponsor, keluarga dan masyarakat dimana anak sponsor tinggal, serta Wahana Visi Indonesia. Wahana Visi Indonesia membantu menyalurkan bantuan kepada anak-anak sponsor agar mereka mendapatkan masa depan yang baik, mencarikan lokasi anak sponsor dan masyarakat yang membutuhkan, serta menyiapkan anak-anak sponsor untuk menjadi duta dimana mereka tinggal.

Kegiatan-kegiatan Wahana Visi Indonesia bersifat membimbing, mendidik, memberikan modal pada anak sponsor, keluarga dan masyarakat dimana mereka tinggal. Suatu program jangka panjang hingga 15 tahun kedepan yang diharapkan akan menghasilkan dampak berkepanjangan bagi kehidupan mereka.

Berikutnya seorang gadis muda, yang masih duduk di bangku kuliah, menuturkan pengalamannya menjadi sponsor anak. Setiap bulan, ia menyisihkan uang jajannya untuk seorang anak laki-laki di Singkawang. Gadis itu menambahkan bahwa menjadi sponsor anak itu merupakan suatu komitmen pribadi. Komunikasi gadis itu dengan anak sponsornya diawali dengan surat pendek. Robby, memperkenalkan dirinya sebagai anak yang hobi main bola dan bercita-cita menjadi polisi.

Mereka sering berkomunikasi melalui surat, namun belum pernah bertemu muka. Hingga suatu hari, gadis itu berkesempatan berkunjung ke Singkawang. Ia menyaksikan betapa panjang perjalanan yang harus ia tempuh, menuju lokasi terpencil melalui sungai. Setibanya di Singkawang, ia pun bertemu dengan sponsor-sponsor lain. Beberapa diantara mereka ada yang menjadi sponsor untuk 2 hingga 3 orang anak sekaligus.

Lebih lanjut, ia menyaksikan bantuan nyata yang sudah dilakukan disana. Diantaranya pembangunan sarana prasarana posyandu yang memadai, akses air bersih, serta sebuah rumah kayu telah didirikan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat sekitar. Jelas terlihat bahwa bantuan yang disalurkan Wahana Visi Indonesia bukan berupa dana sementara, tetapi program jangka panjang bagi anak sponsor, keluarga, dan masyarakat sekitar agar dapat menjadi mandiri. Menutup kesaksiannya ia mengajak agar kita sama-sama membuat perubahan, membantu anak-anak dengan menjadi sponsor sehingga mereka bisa mendapatkan masa depan yang cerah.

***

Di Indonesia masih banyak daerah-daerah yang terpencil dan sulit diakses. Dampaknya pada pendidikan anak cukup jelas. Setiap hari, banyak anak-anak yang harus berjuang untuk mencapai sekolah mereka. Berjalan kaki berkilo-kilo meter menempuh medan yang sulit untuk tiba di sekolah. Sarana prasarana pendukung belajar dan dana yang terbatas membuat banyak anak-anak terpaksa harus putus sekolah. Padahal semangat mereka untuk belajar sangat tinggi dan punya potensi yang patut diperhitungkan.

Sudah seharusnya kita mencurahkan perhatian lebih untuk anak-anak tersebut, mengingat anak adalah generasi penerus masa depan. Suatu ketika Yohanes Surya, seorang fisikawan Indonesia, mengadakan suatu penelitian. Ia membawa beberapa anak dari daerah terpencil di Indonesia untuk dididik dan pada akhirnya membuatnya tiba pada suatu kesimpulan bahwa orang Indonesia itu pandai, asal diberikan kesempatan.

***

Presentasi dari Wahana Visi Indonesia membuatku merasa bersyukur, bahwa selama ini aku tidak pernah mengalami kesulitan atau kekurangan untuk biaya pendidikan dan sarana pendukungnya. Itu tidak lepas dari perjuangan orang tuaku yang bekerja keras guna mencukupi kebutuhanku akan pendidikan. Tugasku hanya satu: belajar. Sesuatu yang mungkin eksklusif bagi anak-anak yang tinggal di daerah terpencil.

Aku terkenang pengalaman Bapakku, yang harus berjuang untuk pendidikan yang lebih baik, demi masa depan. Beliau menceritakan karena keterbatasan biaya, Bapak hanya bisa mengenyam pendidikan formal hingga bangku SMA. Lulus SMA di tahun 1967, Bapak langsung bekerja. Apapun yang bisa dikerjakannya, untuk bertahan hidup. Setelah sempat bekerja serabutan dan merantau ke beberapa tempat, Bapak mendapat pekerjaan yang lebih baik.

Setiap bulan Bapak menyisihkan sebagian dari gajinya, yang diinvestasikan dalam bentuk emas. Rencananya emas yang terkumpul akan dijual, kemudian Bapak akan mengundurkan diri dari pekerjaannya di suatu perusahaan asing di Papua.  Uang hasil penjualan emas akan digunakan untuk biaya kuliah di Jakarta dan membeli 1 unit taksi. Jika tidak ada perkuliahan, Bapak akan mencari uang dengan menjadi supir taksi.

Manusia boleh berencana, tapi kehendak Tuhan yang jadi. Ketika itu tahun 1975, sudah ada peminat emas Bapak. Saat tinggal melakukan transaksi, emas Bapak hilang! Seseorang  mencurinya dari barak tempat Bapak tinggal. Kenyataan pahit yang tidak bisa dielakkan. Kejadian itu menjadi motivasi bagi Bapak untuk semakin giat bekerja. Agar kelak tersedia dana yang cukup untuk biaya pendidikan anak-anaknya.  

Aku merasa bersyukur dan sangat beruntung karena cita-cita Bapak tercapai. Aku dan kedua orang abangku bisa mengecap pendidikan hingga bangku perguruan tinggi. Bapak selalu berkata, “Kalau ada keperluanmu untuk sekolah, buku-buku, atau apa saja, bilang sama Bapak. Bapak pasti kasih. Jangan kuatir soal biayanya, itu urusan Bapak. Yang penting kau bisa belajar dengan baik.” Bapak percaya, pendidikan bisa mengantarkan seseorang menuju masa depan yang menjanjikan.  

“I am convinced that knowledge is power - to overcome the past,
 to change our own situations,
to fight new obstacles, to make better decisions.
Knowledge is the key that unlocks all the doors.”
  Ben Carson

Penghujung tahun 2010, Bapak membawa kami sekeluarga ke kampung asalnya. Lintong Ni Huta, sekitar 26 km dari kota Medan, Sumatra Utara. Untuk mencapainya, kami harus melakukan perjalanan darat selama 6-7 jam, melalui perbukitan dan hutan-hutan. Tiba di Lintong, aku melihat beberapa anak sekolah dasar berjalan kaki melalui jalan menanjak yang cukup terjal.
Dulu Bapak ke sekolah bagaimana?” aku bertanya.
“Ya jalan kaki… Macam anak-anak yang kau lihat tadi...” jawab Bapak.
Kan jauh, mana jalannya menanjak kayak gitu lagi…” balasku.
Kalau kami dulu, tidak jadi masalah itu. Yang penting tetap harus sekolah, supaya pintar toh… Bapak berkata sambil tersenyum.

***

Mari lakukan sesuatu untuk pendidikan anak-anak Indonesia. Untuk masa depan mereka yang juga masa depan Indonesia. Dengan menjadi sponsor anak salah satunya. Let's make a difference, for Indonesia’s better future!


Surabaya 30.07.2013 11.35 PM

2 comments:

  1. Beberapa bulan ini saya akrab dengan anak-anak dari Sumba. Mereka memang sangat perlu ditolong. Oleh karena itu saya bersama teman mendirikan organisasi di mana saya mulai bekerja besok pagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat bertugas di tempat yang baru, Pak..
      Semoga bisa membantu anak-anak di sana mewujudkan cita-cita mereka, menggapai masa depan yang cerah..
      :)

      Delete